Mohon tunggu...
Adisiana
Adisiana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang Bodoh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wartawan dan Panggung Sandiwara "Papa"

28 November 2017   15:15 Diperbarui: 29 November 2017   09:48 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Drama demi drama yang dipertontonkan Ketua DPR RI, Setya Novanto terkait kasus korupsi megaproyek KTP elektronik cukup melelahkan dan membuat publik bosan dengan pemberitaan yang disuguhkan oleh media. Media arus utama seolah memberikan tempat atau fasilitas pada aktor utama untuk memainkan dagelannya.

Profesi pers saat ini sudah jauh keluar dari jalur yang sebenarnya. Kita semua tentu sadar bahwa media massa mempunyai peran sentral dalam kehidupan demokrasi modern. Meski kini harus berdampingan dengan media sosial yang dianggap lebih pastisipatif. Namun ingat, media arus utama tetap menjadi penentu tentang apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang seharusnya dihindari untuk didiskusikan banyak orang.

Prinsip jurnalisme yang disebutkan Bill Kovach dan Tom Rosential salah satunya adalah loyalitas kepada warga. Mengedepankan kepentingan masyarakat akan informasi adalah yang utama. Jurnalisme bertujuan untuk menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya kepada warga masyarakat agar dengan informasi tersebut mereka dapat berperan membangun sebuah masyarakat yang bebas. Selain itu peran wartawan juga menjadi watchdog-penjaga dan menyuarakan kepentingan dari mereka yang tidak memiliki suara -- voice to the voiceless.

Namun yang terjadi belakangan sangat berbeda dari tujuan utama jurnalisme. Media seolah memfasilitasi Setya Novanto untuk memainkan dramanya di muka publik. Bukan hanya mencederai prinsip utama jurnalisme serta menjatuhkan harga diri wartawan, namun juga melecehkan publik secara terang-terangan. Apa yang dihadirkan seolah menganggap publik bodoh dan bisa begitu saja menerima sandiwara itu.

Sehingga akhirnya keresahan publik meledak dalam ciutan dan tagar-tagar yang menjadi viral. Tidak ada yang salah dari tindakan masyarakat yang melontarkan kritikan dan sindiran mereka lewat media sosial. Menyikapi politik dengan nada yang humoris. Tetapi, bukan berarti media massa mengekor pada tren populer yang ada di media sosial hanya untuk mendulang 'klik'. Seharusnya media menyuguhkan pemberitaan kasus yang luar biasa ini dengan lebih rasional. Sebab media adalah tanggul terakhir yang diharapkan oleh publik, agar publik tidak lupa untuk mengutuk kejahatan korupsi dengan layak.

Seorang wartawan menulis berita, bukan mengetik. Dengan menulis itu seorang wartawan menggunakan semua daya pikiran dan perasaan. Untuk memperoleh fakta dari berita besar atau kompleks tidak mudah. Untuk itu perlu dalam diri seorang wartawan ditanamkan naluri skeptis yang kuat. Karena profesinya bertugas mencari kebenaran, maka wartawan harus menaruh rasa ragu, bertanya, menggugat, dan tidak begitu saja menerima kesimpulan-kesimpulan yang umum (Ishwara, Luwi, 2011).

Penting bagi seorang wartawan untuk memverifikasi data dan fakta, mengujinya kembali, menggali lebih dalam dari sebuah kejadian dan mengemasnya secara objektif dan transparan. Karya tulis menjadi tolak ukur intelektualitas seorang wartawan. Terlebih dalam kasus kejahatan luar biasa yang menyeret Ketua DPR RI. Kasus ini bukan masalah sepele apalagi panggung jenaka. Seorang wartawan harus serius dalam mengusut peristiwa ini. Publik membutuhkan peran wartawan di saat-saat seperti ini.

Memang tidak semua media pemberitaan mengekor pada tren sosial media, masih ada beberapa yang mengulas kasus ini lebih serius dan mendalam,. Seperti misalnya berita mengenai sosok wartawan yang menyopiri Setya Novanto saat peristiwa menabrak tiang listrik di Permata Hijau, ada pula yang mengulas rekam jejak hakim Cepi yang memenangkan tuntutan pra peradilan Setya Novanto. Sayangnya, berita-berita semacam ini menjadi tenggelam akibat mayoritas berita yang sifatnya remah episodik, benar-benar menjadi wadah untuk Setnov memainkan dagelannya.

Padahal ada yang lebih penting untuk dikabarkan dari sekadar benjolan bakpao atau tiang listrik. Seperti kemana Setnov seharian saat ia menghilang, menguji kebenaran klaim pengacara Setnov, mencari narasumber yang kritis untuk memberikan tekanan politik kepada pihak elit yang terkait serta menyediakan argument hukum yang tepat. Seharusnya media berperan di sini untuk menelusuri dan melakukan investigasi. Segala hal yang terbilang ganjil dan segala sesuatu yang perlu diungkap.

Kasus papa terlalu mahal untuk dijadikan dagelan. Meski memang dalam kasus ini waktu yang tepat untuk media massa meraup keuntungan. Tapi ingat, peran utama media adalah untuk melayani kebutuhan informasi publik. Bukan yang lain.

Bisakah pada kondisi dan kasus seperti ini media berdiri dan membuat satu barisan? Untuk mengikhtiarkan sebuah perlawanan yang serius terhadap korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun