Mohon tunggu...
Adisiana
Adisiana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang Bodoh

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Langka Nasionalis

1 Maret 2016   23:37 Diperbarui: 2 Maret 2016   15:20 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

Lagi - lagi generasi muda menjadi perhatian saya tiap kali memposting tulisan di sini. Mungkin memang anak muda memiliki ragam dalam tingkah lakunya, sekaligus saya juga anak muda yang menjadi pemerhati anak muda. Kali ini yang menjadi fokus saya adalah tentang bagaimana kebanyakan anak muda sekarang menyikapi dan memperlakukan kebudayaan asing. 

Pernahkah ada yang melihat saat penyanyi asing menggelar konser di Indonesia? Atau mungkin boyband/girlband konser? Pernahkah ada yang memerhatikan bagaimana reaksi pemuda - pemuda ini? Entah saya yang salah melihat atau bila saya salah menilai, maka maafkan saya. Banyak anak muda saat ini yang tergila - gila dengan artis luar negeri. Jika hanya sekadar lagu tidak masalah. Namun kebanyakan, nyaris kebudayaan asing telah membudaya pada diri mereka. Bagi saya mereka terlalu berlebihan dalam memuja atau mengagumi.

Jadi begini, dalu saya pernah melihat sekelompok anak muda dimana yang mendominasi kelompok itu adalah kaum hawa. Saat itu ada konser dari salah satu boyband ternama dari Korea. Semangat membara yang tergambar dari wajah mereka ketika membicarakan segala hal yang berkaitan dengan boyband itu. Mereka juga akan menghadiri acara konser musik itu bersama - sama. Singkat cerita mereka betul - betul dengan detil mempersiapkan semua atribut yang akan digunakan untuk menghadiri konser tersebut. Mereka terlihat seperti kesurupan artis korea saat itu.

Hal serupa terjadi dengan teman sekolah saat saya masih di bangku SMA. Banyak kaum hawa yang menanti - nanti konser boyband itu digelar. Sebelum hari H mereka sibuk menbicarakannya mulai dari pakaian apa yang akan digunakan boyband itu, gaya rambut yang bagaimana, membawakan lagu apa saja dan hal - hal lainnya. Saya terlalu asing dengan pembicaraan mereka sehingga tidak begitu ingat apa saja yang menjadi perbincangan. Suatu ketika saat memasuki jam pelajaran Kewarganegaraan, datanglah seorang guru untuk mengajar ke kelas kami. Saat itu materi yang diajarkan adalah Ideologi Negara. Guru kami terkenal sebagai guru dengan paham kiri. Maksudnya adalah kritis. Selain itu juga nasionalis dan sangat idealis. Sebelum memulai pelajaran, seperti biasa beliau selalu mengawali dengan asah semangat. Kegiatan ini selalu dilakukan agar tiap memulai belajar, kami dalam kondisi yang segar baik semangat dan otaknya. Kegiatan asah semangat selalu berbeda cara setiap minggunya.

Kala itu, sebut saja Pak Budi, guru Kewarganegaraan kami meminta salah satu siswa untuk bernyanyi. Karena di kelas tersebut memang ada siswa yang dikenal pandai bernyanyi, majulah Sindi untuk menyumbangkan suaranya. Usai bernyanyi, bertepuk tanganlah semua yang ada di kelas. Bahkan ada yang bersorak dan siul. Pak Budi diam sejenak tanpa mempersilahkan Sindi untuk kembali ke tempat duduknya. Kemudian beliau bertanya kepada Sindi, lagu apa yang dibawakannya tadi? Dengan malu - malu Sindi menjawab sambil menatap Pak Budi yang tengah memegang keningnya. Lagu yang dibawakannya adalah lagu seorang penyanyi korea. Entah apa judulnya kurang begitu jelas (maksudnya saya memang tidak mengerti bahasa Korea). Tak lama setelah diam, Pak Budi sambil mengerutkan keningnya. 

"Sebentar dulu ya. Tadi saya bingung. Kepala saya pusing  karena tidak paham apa yang dinyanyikan Sindi. Bagaimana kalo kita mendengarkan lagu Wajib Nasional saja ya?" 

Serentak seisi kelas menjawab "setuju..."

"Nah, silahkan nyanyi neng." 

"Lagu yang mana Pak?" Kali ini wajah Sindi terlihat aneh. Gelagatnya sedikit berbeda. 

"Apa saja. Apa yang kamu hapal?"

"Hmm.."

"Nah lhoo. Kenapa toh?" Pak Budi membaca sesuatu dari wajah Sindi. 

"Heh. Jangan bilang kamu gak ada yang hapal lagu wajib lho ya!!!" 

"Maaf Pak. Saya banyak yg gak hapal."

"Waduh. Gawat. Lagu Indonesia Raya deh kalo gitu. Ayo cepetan. Ini gak mungkin gak hapal. Setiap upacara dinyanyikan."

Sindi mulai bernyanyi, namun di pertengahan ia salah lirik. Saat itu juga wajah Pak Budi berubah menjadi merah. Dan meminta Sindi untuk berhenti bernyanyi. Saya tahu bahwa ini adalah kabar buruk. Pak Budi marah besar. Ia beranjak dari posisinya kemudian berjalan ke belakang. Ia menatap siswanya satu per satu. Sindi ketakutan dan masih berdiri mematung di depan kelas. 

"Ini generasi zaman sekarang?! Ini yang bakal jadi penerus bangsa?! Jangan bilang bahwa kalian sama seperti dia yang tidak hapal lagu kebangsaan sendiri?! Angkat tangan yang tidak hapal. Saya ingin melihat berapa banyak generasi rusak di sini. Jujur! Angkat tangan! Atau akan saya tes satu per satu." 

Saya berharap tidak ada yang tidak hapal. Sebab memang yang terlihat apatis terhadap negaranya sendiri adalah Sindi. Ia terlalu terlena dengan budaya asing yang dicintainya, Korea. Namun ternyata Sindi tidak sendirian. Ada lagi 2 siswa yang tidak hapal. Satu lelaki dan satu perempuan. Mereka menundukkan kepala. 

"Saya hari ini akan mengajarkan kalian Ideologi Negara. Dasar Negara! Pondasi agar tegak kokoh berdirinya negara ini. Kamu! Sebutkan sila ketiga." Tiba - tiba menunjuk salah satu siswa yang duduk di barisan nomor 2 dari depan. 

"Keadilan yang beradab." Jawabnya terbata - bata.

Saya kaget sekaget - kagetnya. Bagaimana mungkin? Perkara ini pasti akan semakin besar dan berlanjut. Dan benar saja. Pak Budi marah sejadi - jadinya. Sila ketiga Persatuan Indonesia, berubah menjadi Keadilan yang beradab. Memang sudah gawat. Bangsa ini gawat. 

Begitu bobroknya generasi bangsa saat ini karena hipnotis budaya asing. Wajar saja mereka tidak hapal lagu wajib nasional, karena memang mereka hampir setiap hari yang didengarkan adalah musik orang asing. Hal terparah yang baru saya ketahui adalah ada yang tidak hapal lagu Indonesia Raya dan Pancasila. 

Ini akibat upacara sering mengeluh. Sengaja datang terlambat di hari Senin karena untuk menghindari upacara. Saat upacara hampir semua berbondong - bondong ingin berada di barisan belakang. Namun ketika konser boyband teriak histeris berada paling depan. Saat upacara berlangsung banyak yang berbicara bahkan ada yang bergurau. Hal ini benar terjadi dan mata ini menjadi saksi. 

Lihat sekarang banyak sekali rupa - rupa warga negara Indonesia terlihat tidak seperti orang Indonesia. Rambut hitam menjadi pirang. Fashion berkiblat bangsa asing. Batik hanya dianggap pakaian untuk orangtua. Poster artis luar negeri berjejer menghiasi dinding rumah serta nyaris hapal silsilah keluarga mereka. Tapi ketika ditanya siapa yang merumuskan pancasila, jawabannya 'a 'i 'u anu - anu. 

Saya tidak mengerti mengapa sampai sejauh itu, sebesar itu budaya asing memengaruhi dan merasuk hingga ke sanubari generasi bangsa saat ini. Saya belum melihat adakah yang berteriak histeris, semangat berapi - api dan berdiri paling depan untuk membela Indonesia di zaman sekarang ini. Adakah yang akan mati - matian mempertahankan kebudayaan Indonesia yang nyaris tenggelam? Jawabannya ada. Tetapi sedikit sekali yang melakukan itu. 

Ingat. Harusnya kita bangga pada negara ini yang beragam seni dan budayanya sampai banyak bangsa asing melirik budaya Indonesia. Kita telah kecolongan beberapa kali oleh tetangga. Jika akan terus apatis pada negara dan budaya sendiri. Jangan salahkan dirampas bangsa lain. 

Waspadalah - waspadalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun