Surabaya -- Senioritas menjadi kata yang tidak asing bagi hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Istilah ini berkembang di berbagai kelompok dan komunitas dengan coraknya masing-masing. Menurut KBBI, senioritas dapat diartikan sebagai suatu keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman, dan usia. Bisa juga dimaknai sebagai prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja.Â
Pada dasarnya, senioritas sendiri adalah sebuah terminologi yang bersifat netral. Dari pengertiannya sendiri dapat kita simpulkan bahwa senioritas hanyalah suatu kondisi seseorang yang "lebih tahu" mengenai ranahnya. Sayangnya, dalam eksistensinya di masyarakat, kata ini cenderung dianggap sebagai suatu hal berkonotasi negatif. Seseorang yang menerapkan senioritas dilabeli sebagai seseorang yang menggunakan pangkatnya yang lebih tinggi ataupun pengalamannya yang lebih luas untuk berkuasa dan berlaku semena-mena di dalam suatu kelompok. Tak dapat dipungkiri, fenomena ini memang sangat mungkin terjadi. Dalam suatu ruang kerja hingga lingkungan sekolah, senioritas dapat berkembang ke arah hal buruk dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, apakah selalu seperti itu?Â
Salah satu lingkup di mana senioritas cukup berkembang adalah dunia pendidikan kedokteran. Akhir-akhir ini, cukup ramai diperbincangkan perkara-perkara yang menyangkut perlakuan antara senior terhadap junior dalam dunia ini. Namun, sebelum berdiskusi lebih jauh, perlu diketahui keadaan yang selalu ada di dunia kedokteran itu sendiri. Dunia kesehatan memang cukup dikenal dengan pendidikan yang cukup keras. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan mereka nanti yang akan banyak bersinggungan dengan kondisi hidup dan mati manusia lain. Para tenaga kesehatan dituntut untuk memiliki disiplin tinggi serta kesadaran yang menyeluruh mengenai tanggung jawab mereka.Â
Keadaan tersebut kemudian membuat para senior di dunia kedokteran berlaku "keras" terhadap adik tingkatnya. Sayangnya, perlakuan ini terkadang melampaui batas yang seharusnya. Tidak jarang kejadian yang mana senioritas justru mengarah kepada bullying. Tak sedikit pula senior-senior yang merasa dirinya dapat bersikap semena-mena kepada adik tingkat. Mereka berlindung di balik pernyataan yang menyatakan bahwa seorang dokter haruslah tahan banting dan kuat mental. Akan tetapi, para junior sebagai pihak yang mendapat perlakuan jelas tidak berpikir seperti itu. Kebanyakan dari mereka menganggap perlakuan para senior tidaklah berdasar.Â
Selain perlakuan keras secara fisik dan verbal, belakangan ini juga banyak dijumpai isu mengenai senior yang "meminta tolong" adik tingkatnya melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya, banyak dari dokter-dokter umum baru di suatu rumah sakit harus mau melakukan apapun yang disuruh demi bisa mendapatkan rekomendasi dari dokter spesialis yang mereka tuju. Mereka umumnya dimintai tolong untuk membelikan barang keperluan riset si senior hingga mungkin mengantar jemputnya. Bahkan, sempat beredar suatu kasus ekstrem di mana sekelompok junior berpatungan membelikan mobil untuk seniornya. Hal-hal seperti itu jelas tidak berdasar dan tidak memiliki esensi penuh untuk diterapkan.
Di Indonesia, kejadian-kejadian semacam senioritas yang melewati batas tersebut telah terjadi sejak zaman lampau. Bahkan, hal-hal seperti itu dianggap sudah menjadi tradisi yang harus dibudidayakan secara turun-temurun. Lama kelamaan senioritas yang melewati batas tersebut menjadi hal lumrah yang tidak perlu dipertanyakan. Hanya saja, zaman dahulu belum memiliki jaringan komunikasi seluas sekarang sehingga praktik senioritas tidak begitu tersorot kamera. Sementara di zaman digital sekarang ini, banyak hal dengan mudah dipublikasikan dan menyebar luas di masyarakat.Â
Kembali ke topik utama, praktik senioritas di dunia kedokteran sendiri sebenarnya mengundang banyak pandangan berbeda. Walaupun cukup banyak menentang dengan keras kondisi yang ada, tidak sedikit pula yang merasa hal tersebut baik-baik saja. Para senior--kebanyakan dari mereka yang memang sudah menjadi seorang dokter--cukup menyetujui adanya senioritas. Mereka merasa bahwa justru hal itulah yang dibutuhkan para calon dokter untuk membentuk karakter yang diperlukan.Â
Menjadi seorang dokter bukanlah perkara yang mudah. Seorang dokter memiliki tanggung jawab besar di pekerjaannya nanti. Tindakan dan keputusan yang mereka ambil bersangkutan langsung dengan nyawa manusia lain. Di samping itu, pemberian perawatan kepada pasien tidak dapat dilakukan sembarangan. Ada kode etik yang harus dipertahankan serta rasa kemanusiaan yang selalu mengiringi. Oleh karena itu, seorang dokter harus tahan banting, cepat tanggap, bertanggung jawab, cerdas, dan tulus dalam pekerjaannya. Semua ini, suka atau tidak, pada kenyataannya hanya dapat diperoleh dari latihan-latihan keras yang berawal dari senioritas.Â
Sebagai contoh, terdapat momen di mana seorang senior memberi tugas kepada juniornya di jam-jam yang tidak masuk akal. Misalnya di tengah malam, mereka membangunkan juniornya untuk mengambil alat di suatu tempat, hanya untuk mengetahui bahwa sebenarnya hal tersebut bisa menunggu untuk dilakukan keesokan hari. Hal ini sebenarnya diterapkan para senior untuk melatih ketanggapan mereka. Untuk menunjukkan bahwa suatu hari nanti mereka akan menghadapi situasi darurat semacam itu dan harus bereaksi dengan cepat dan tepat. Atau di kasus lain, seorang residen dihubungi secara tiba-tiba dan diminta untuk segera menemui sang konsulen. Orang luar yang tidak mengetahui apa yang terjadi mungkin akan menganggap hal itu tidak patut dilakukan. Padahal kenyataannya, konsulen tersebut berniat mengajak residennya untuk ikut dalam suatu tindakan terhadap kasus yang jarang ditemui dan dapat menjadi ilmu baru bagi sang residen.
Di sisi lain, senioritas dan didikan keras dalam dunia kedokteran juga diperlukan untuk membentuk suatu kesejawatan. Seorang dokter harus bisa bekerja sama dengan rekan sejawatnya tanpa pandang bulu. Seorang dokter perlu menumbuhkan rasa hormat kepada teman sejawatnya karena bersama merekalah ia akan bekerja sama untuk menyembuhkan orang nantinya. Hal ini menjadi salah satu yang sangat ditekankan dalam pendidikan kedokteran saat ini. Karena dalam pelaksanaannya, tidak jarang ditemukan kasus di mana seorang dokter merasa lebih superior daripada sejawatnya, mulai dari seorang perawat hingga apoteker.Â
Perdebatan mengenai senioritas menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Akan selalu ada esensi yang dijadikan alasan untuk mendukung maupun celah sebagai alat untuk menentangnya. Intensitas senioritas itu sendiri juga menjadi sebuah faktor utama, apakah diterapkan secara berlebihan atau dengan sewajarnya. Walau begitu, pada akhirnya senioritas hanyalah sebuah terminologi yang tidak memihak. Para pelakunya lah yang menjadi penentu ke arah mana senioritas itu akan dibawa: untuk mendidik atau justru menghardik targetnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H