Mereka yang memilih sufor alih-alih ASI, bukan berarti mereka tidak mencintai buah hatinya. Tentu karena rasa sayang yang besar itu mereka memutuskan menggunakan sufor agar nutrisi si buah hati tetap terjaga.Â
Jadi, bapak-ibu netizen yang budiman. Stop shaming! Kalau ada ibu yang menggunakan sufor. Karena mereka pun sebenarnya kesulitan untuk memilih yang terbaik dari yang terbaik.
Be loving! Karena di balik pilihan si ibu ada rasa bersalah yang luar biasa ketika tidak bisa menyusui bayinya. Sehingga kita tidak perlu sibuk menghakimi pilihan-pilihan dari ibu yang berjuang itu.
Di balik Tuntutan "Ibu yang Baik Adalah..."
"Ibu yang baik adalah ibu yang Meng-ASI-hi bayinya sampai 2 tahun."
"Ibu yang baik adalah ibu yang tanpa mengeluh saat mengurus bayinya."
"Ibu yang baik adalah ibu rumah tangga."
"Ibu yang baik adalah...."
Segitu banyaknya definisi ibu yang baik membuat kita—para orang tua—khususnya ibu berjuang mendapat predikat ibu yang baik. Sampai-sampai menjadi "yang baik" seperti sebuah norma dan tuntutan umum. Tapi apakah menjadi baik itu artinya kita harus menjadi sempurna tanpa cacat?
Tidak! Untuk menjadi baik kita tidak perlu sempurna. "Menjadi baik" adalah proses kita bertumbuh dari diri sebelum ke diri yang sekarang. Menjadi ibu yang baik artinya kita berproses menjadi ibu yang utuh dengan menerima kekurangan diri kita yang dulu, sekarang, dan menerima kelebihan diri yang dulu serta sekarang, juga di masa yang akan datang.
Sama halnya dengan meng-ASI-hi. Ibu itu baik kok dengan memberi ASI kepada anak walau tidak sampai dua tahun. Ibu itu baik kok walau harus memberi sufor pada bayi. Realita meng-ASI-Hi memang tidak semudah idealnya.Â
Ekspektasi tinggi untuk menyusui bayinya sering kali membuat ibu mengalami gangguan mental dari baby blues, PTSD hingga depresi. Belum lagi stigma "ibu yang tidak baik" sering tersemat pada ibu yang menggunakan sufor di. Tingginya ekspektasi tidak dibarengi dengan kesadaran akan realita bahwa menyusui tidak semudah itu. Jadi apa yang perlu dilakukan?