"Yaaa sekitar 150 jutaan lah yang kami habiskan untuk pesta pernikahan, uang yang kami dapatkan dari para tamu undangan kurang lebih hanya sekitar 45 juta, itu saja untuk membayar hutang di bank masih belum cukup. Tidak sebandinglah dengan pengeluaran", lanjutnya.
Setelah pesta pernikahan berakhir, selain beliau dipusingkan dengan beban hutang di bank sebanyak 80 juta, beliau juga menyadari kalau pesta pernikahan hanya menghambur-hamburkan uang saja.Â
Bagaimana tidak, uang sejumlah 150 juta mereka habiskan dalam hitungan jam, dan itu tidak membuatnya senang, malah membuatnya merasa terbebani dengan hutang.
Dan jikalau dipikir, seperti memaksakan keadaan yang tidak ada harus menjadi ada, tidak mampu harus mampu, kurang harus cukup. Bukankah ini hal yang sulit dan menjepit? Lalu bagaimana dengan nasib hutangnya di bank?
Untuk melunasi hutangnya di bank, beliau harus merelakan mobil satu-satunya untuk dijual, bagaimana tidak setiap hari beliau tidak bisa tidur dengan nyenyak karena hutangnya.
Ditambah lagi putri yang baru saja beliau nikahkan akan segera melahirkan dan belum memiliki tempat tinggal (tinggal di kos). Akhirnya sisa uang dari penjualan mobil tersebut beliau gunakan untuk menyewa sebuah rumah untuk putrinya tinggal.
Miris bukan? Resepsi pernikahan bermewah-mewahan tetapi tidak memiliki tempat tinggal.Â
"Hanya demi sebuah gengsi saya harus berhutang di bank, menghabiskan uang tabungan dan merelakan perhiasan isteri saya dan akhirnya saya menjual mobil satu-satunya untuk membayar hutang. Seandainya saya hanya membuat pesta kecil-kecilan pasti saya masih punya sisa uang, tidak perlu berhutang dan akhirnya menjual mobil, dan putri saya tidak perlu tinggal di kontrakan", ceritanya.
Dari cerita tersebut, saya teringat kembali dengan tetangga saya yang menjual sawah demi resepsi pernikahan putrinya, hampir sama ceritanya dengan bapak polisi hutan tadi, hanya saja tetangga saya tidak sampai berhutang di bank.
"Resepsi pernikahan itu biayanya tidak sedikit, minimal masih 50 juta. Jika tidak memiliki tabungan terpaksa akan berhutang atau menjual beberapa aset milik kita, lagian nikah tanpa resepsi/pesta kan kurang meriah. Malu juga apa kata tetangga", jelas tetangga saya.
Seringkali para orangtua atau bahkan kita sendiri beralasan "malu" jika tidak mengadakan pesta pernikahan untuk putra putrinya. Bukankah lebih malu lagi jika kita berhutang demi untuk kesenangan sesaat dan menghambur-hamburkan uang?