Oleh: Dinda Mutia Khaerun Nisa
Pada, 30 Juni 2021, 18:59)
Sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia telah memulai transisi demokrasi secara perlahan yang tergolong cukup baik. Secara umum, sejak reformasi, banyak pengamat yang memuji pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pemilihan umum yang cukup kompetitif telah terlaksana, masyarakat sipil tumbuh dan bergerak dinamis, serta terselenggaranya iklim kebebasan pers yang jauh lebih banyak dibanding sebagian besar negara-negara Asia. Berdasar beberapa hal itu, maka sebagian pengamat menilai bahwa demokrasi Indonesia sudah cukup stabil untuk mengarah pada konsolidasi, tanpa menemui penantang yang sangat berbahaya. Namun, selama beberapa tahun terakhir, mulai merebak nada suram dalam penilaian demokrasi Indonesia.
Perbincangan tentang kekhawatiran atas regresi demokrasi, penurunan kualitas demokrasi, dan kecenderungan otoritarianisme menjadi menonjol dalam analisis akademik yang ditulis oleh banyak pengamat, khususnya sejak Joko Widodo memegang tampuk kekuasaan (Aspinall dan Mietzner, 2019; Hadiz, 2017; Mietzner, 2016, 2018, 2020; Power, 2018; Warburton, 2016; Warburton dan Aspinall, 2019).
Secara umum, argumen[1]argumen yang disajikan oleh beberapa pengamat itu berkesimpulan bahwa pelaksanaan demokrasi Indonesia adalah bentuk dari illiberal democracy. Demokrasi tipe ini dapat diartikan sebagai sebuah sistem saat rakyat dapat secara efektif memilih pemimpin mereka sendiri, tetapi ada kendala serius pada kebebasan sipil dan supremasi hukum (Warburton dan Aspinall, 2019: 263).
Kesimpulan ini diambil setelah melihat bahwa demokrasi Indonesia memiliki corak tersendiri yang cukup unik, yakni ketika demokrasi elektoral berlangsung secara kompetitif, tetapi diiringi pula kecenderungan menurunnya kualitas demokrasi (Aspinall dan Mietzner, 2019) Namun, perlu dipahami secara serius, bahwa dengan menyatakan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran, penulis tidak berpendapat bahwa negara ini kembali ke versi otoritarianisme Orde Baru, ataupun kualitas demokrasi Indonesia terdegradasi hingga di bawah demokrasi elektoral.
Fenomena kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia yang mulai tampak di bawah kepemimpinan Joko Widodo sejak 2014 hingga kini. Pada mulanya, kemunculan pria yang akrab disapa dengan Jokowi ini telah menghadirkan harapan baru bagi sebagian besar publik tentang masa depan yang cerah bagi demokrasi dan perbaikan kualitas pengelolaan negara. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa Jokowi bukanlah bagian dari elit lama, oligarki, penguasa korup, ataupun militer, dan dia lahir dari rakyat kecil yang berhasil meraih keunggulan politik atas dukungan masyarakat sipil. Namun tampaknya, kekhawatiran terhadap menurunnya kualitas demokrasi mulai menguat dan harapan pada sosok presiden “rakyat” perlahan sirna setelah beberapa tahun Jokowi menjalankan pemerintahannya.
Penulis berargumen, setidaknya, fenomena yang mengarah pada backsliding democracy ini bisa dilihat dari beberapa aspek: pertama, semakin menguatnya narasi populisme dengan beragam variannya selama satu dekade terakhir. Dalam situasi tertentu, Jokowi memang bermain dengan ide-ide populisme dan ini akan sangat berkaitan dengan poin bahasan penulis selanjutnya. Kedua, civic space bagi masyarakat sipil tampaknya semakin menyempit akibat penggunaan buzzer oleh pemerintah ataupun pemberlakuan aturan hukum tertentu yang membatasi. Buzzer dan fanboy seakan telah menjadi fenomena umum dalam praktik politik Indonesia belakangan ini.
Peran mereka semakin meningkat dan dipandang sebagai kewajaran sejak era Joko Widodo, baik itu karena menjadi bagian dari pekerjaan atau murni simpatisan presiden belaka. Ketiga, ada kecenderungan bahwa pemerintah sedang mencoba memperluas kewenangan pemerintah pusat, mempersempit kemungkinan check and balances, seraya memperbesar keterlibatan TNI/Polri dalam beragam aktivitas pemerintahan. Ketiga aspek yang penulis sebutkan akan dielaborasi lebih lanjut untuk melihat hubungannya satu sama lain, tetapi sebelumnya, penulis akan memaparkan secara singkat posisi penulis atas kondisi demokrasi Indonesia sebagai berikut.
Dalam hal ini, penulis berargumen, dalam kadar tertentu, populisme adalah awal mula dari kecenderungan kemunduran demokrasi di Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo. Beberapa pengamat mengklaim bahwa merebaknya populisme Islam yang berujung pada Aksi Bela Islam berjilid-jilid telah mendorong pemerintah Joko Widodo untuk membentuk serangkaian kebijakan non-liberal (Mietzner, 2018).
Beberapa kebijakan yang bersifat represif, seperti upaya penangkapan dan kriminalisasi terhadap beberapa pemimpin kelompok Islamis, membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan mempersulit perizinan bagi Front Pembela Islam, telah diambil sebagai bentuk perlawanan pemerintah terhadap kelompok anti[1]demokrasi. Merujuk pada judul tulisan Mietzner (2018), kondisi ini dapat dimaknai sebagai tindakan “fighting illiberalism with illiberalism”. Namun, menggunakan artikel yang ditulis oleh Mietzner (2020) pula, penulis menganggap bahwa populisme Islam bukanlah satu-satunya alasan kebijakan pemerintah mengarah pada illiberalism.