Mohon tunggu...
Dinda Mutia Khaerun Nisa
Dinda Mutia Khaerun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti

Mahasiswa Magister Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemunduran Kualitas Demokrasi di Indonesia pada Era (2014-2020)

30 Juni 2021   20:00 Diperbarui: 30 Juni 2021   20:26 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: Kanalsatu)

Oleh: Dinda Mutia Khaerun Nisa

Pada, 30 Juni 2021, 18:59)

Sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia telah memulai transisi demokrasi secara perlahan yang tergolong cukup baik. Secara umum, sejak reformasi, banyak pengamat yang memuji pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pemilihan umum yang cukup kompetitif telah terlaksana, masyarakat sipil tumbuh dan bergerak dinamis, serta terselenggaranya iklim kebebasan pers yang jauh lebih banyak dibanding sebagian besar negara-negara Asia. Berdasar beberapa hal itu, maka sebagian pengamat menilai bahwa demokrasi Indonesia sudah cukup stabil untuk mengarah pada konsolidasi, tanpa menemui penantang yang sangat berbahaya. Namun, selama beberapa tahun terakhir, mulai merebak nada suram dalam penilaian demokrasi Indonesia.

Perbincangan tentang kekhawatiran atas regresi demokrasi, penurunan kualitas demokrasi, dan kecenderungan otoritarianisme menjadi menonjol dalam analisis akademik yang ditulis oleh banyak pengamat, khususnya sejak Joko Widodo memegang tampuk kekuasaan (Aspinall dan Mietzner, 2019; Hadiz, 2017; Mietzner, 2016, 2018, 2020; Power, 2018; Warburton, 2016; Warburton dan Aspinall, 2019).

Secara umum, argumen[1]argumen yang disajikan oleh beberapa pengamat itu berkesimpulan bahwa pelaksanaan demokrasi Indonesia adalah bentuk dari illiberal democracy. Demokrasi tipe ini dapat diartikan sebagai sebuah sistem saat rakyat dapat secara efektif memilih pemimpin mereka sendiri, tetapi ada kendala serius pada kebebasan sipil dan supremasi hukum (Warburton dan Aspinall, 2019: 263).

Kesimpulan ini diambil setelah melihat bahwa demokrasi Indonesia memiliki corak tersendiri yang cukup unik, yakni ketika demokrasi elektoral berlangsung secara kompetitif, tetapi diiringi pula kecenderungan menurunnya kualitas demokrasi (Aspinall dan Mietzner, 2019) Namun, perlu dipahami secara serius, bahwa dengan menyatakan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran, penulis tidak berpendapat bahwa negara ini kembali ke versi otoritarianisme Orde Baru, ataupun kualitas demokrasi Indonesia terdegradasi hingga di bawah demokrasi elektoral.

Fenomena kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia yang mulai tampak di bawah kepemimpinan Joko Widodo sejak 2014 hingga kini. Pada mulanya, kemunculan pria yang akrab disapa dengan Jokowi ini telah menghadirkan harapan baru bagi sebagian besar publik tentang masa depan yang cerah bagi demokrasi dan perbaikan kualitas pengelolaan negara. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa Jokowi bukanlah bagian dari elit lama, oligarki, penguasa korup, ataupun militer, dan dia lahir dari rakyat kecil yang berhasil meraih keunggulan politik atas dukungan masyarakat sipil. Namun tampaknya, kekhawatiran terhadap menurunnya kualitas demokrasi mulai menguat dan harapan pada sosok presiden “rakyat” perlahan sirna setelah beberapa tahun Jokowi menjalankan pemerintahannya.

Penulis berargumen, setidaknya, fenomena yang mengarah pada backsliding democracy ini bisa dilihat dari beberapa aspek: pertama, semakin menguatnya narasi populisme dengan beragam variannya selama satu dekade terakhir. Dalam situasi tertentu, Jokowi memang bermain dengan ide-ide populisme dan ini akan sangat berkaitan dengan poin bahasan penulis selanjutnya. Kedua, civic space bagi masyarakat sipil tampaknya semakin menyempit akibat penggunaan buzzer oleh pemerintah ataupun pemberlakuan aturan hukum tertentu yang membatasi. Buzzer dan fanboy seakan telah menjadi fenomena umum dalam praktik politik Indonesia belakangan ini. 

Peran mereka semakin meningkat dan dipandang sebagai kewajaran sejak era Joko Widodo, baik itu karena menjadi bagian dari pekerjaan atau murni simpatisan presiden belaka. Ketiga, ada kecenderungan bahwa pemerintah sedang mencoba memperluas kewenangan pemerintah pusat, mempersempit kemungkinan check and balances, seraya memperbesar keterlibatan TNI/Polri dalam beragam aktivitas pemerintahan. Ketiga aspek yang penulis sebutkan akan dielaborasi lebih lanjut untuk melihat hubungannya satu sama lain, tetapi sebelumnya, penulis akan memaparkan secara singkat posisi penulis atas kondisi demokrasi Indonesia sebagai berikut.

Dalam hal ini, penulis berargumen, dalam kadar tertentu, populisme adalah awal mula dari kecenderungan kemunduran demokrasi di Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo. Beberapa pengamat mengklaim bahwa merebaknya populisme Islam yang berujung pada Aksi Bela Islam berjilid-jilid telah mendorong pemerintah Joko Widodo untuk membentuk serangkaian kebijakan non-liberal (Mietzner, 2018).

Beberapa kebijakan yang bersifat represif, seperti upaya penangkapan dan kriminalisasi terhadap beberapa pemimpin kelompok Islamis, membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan mempersulit perizinan bagi Front Pembela Islam, telah diambil sebagai bentuk perlawanan pemerintah terhadap kelompok anti[1]demokrasi. Merujuk pada judul tulisan Mietzner (2018), kondisi ini dapat dimaknai sebagai tindakan “fighting illiberalism with illiberalism”. Namun, menggunakan artikel yang ditulis oleh Mietzner (2020) pula, penulis menganggap bahwa populisme Islam bukanlah satu-satunya alasan kebijakan pemerintah mengarah pada illiberalism.

Dari sisi Jokowi, dia pun mengusung ide-ide populisme yang mengarah pada kebijakan developmentalis-teknokratik di dalam pemerintahannya. Keyakinan atas developmentalisme telah memaksa pemerintahannya untuk fokus pada inti ideologi ini, yakni bahwa tujuan utama dari pemimpin politik adalah untuk memberikan perbaikan pada kehidupan sehari-hari masyarakat (Mietzner, 2020: 8-10).

Kemudian meminjam istilah Mudde dan Kaltwasser (2017) soal salah satu konsep ini populisme, yakni volonté générale (kehendak umum), pemerintahan Jokowi sangat tertuju pada pemenuhan keinginan warga negara biasa atas peningkatan kemakmuran dan perbaikan hidup mereka. Akhirnya, jalan yang ditempuh cenderung sangat berfokus pada ekonomi, seperti mendorong deregulasi dan pembentukan kebijakan tertentu demi kepentingan investasi, mencoba menjaga stabilitas kondisi sosial[1]politik agar ramah bagi investasi, mengupayakan pembangunan infrastruktur secara masif, sekaligus menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di sisi lain, sangat sedikit minat pemerintah pada pembentukan budaya politik demokrasi dan pelembagaan demokrasi. Memang, pada faktanya, pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur dapat diukur secara konkret sebagai warisan rezim, sedangkan konsolidasi demokrasi dan penanaman budaya demokrasi dalam politik tidak. Contoh yang relevan untuk melihat kemunduran demokrasi dari ide populisme teknokratik Jokowi terjadi pada kasus Omnibus Law yang merupakan produk legislasi yang sangat cacat karena memberikan kekuasaan sewenang-wenang kepada eksekutif untuk beroperasi dalam kerangka peraturan. Bahkan, dalam beberapa rumusan pasalnya, pemerintah pusat dapat mengambil kewenangan pemerintah daerah terkait perizinan-perizinan tertentu yang jelas melanggar aspek otonomi daerah, yang diperjuangkan oleh reformasi. Contoh ini sangat berkaitan dengan aspek ketiga yang penulis angkat, yakni adanya kecenderungan upaya perluasan kewenangan pemerintah pusat.

Sementara itu, dari aspek masyarakat sipil, suara mereka sepertinya semakin tidak didengar oleh pemerintah dalam pembentukan kebijakan, khususnya yang berorientasi ekonomi. Tuntutan masyarakat sipil untuk membatalkan pengesahan Omnibus Law yang terdiri atas beberapa cluster RUU, rasanya seperti angin lalu bagi pemerintah, bahkan yang terbaru, pemerintah dan DPR justru mengesahkan RUU Minerba yang sangat bermasalah di masa pandemi Covid-19.

Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa narasi populisme Jokowi berkaitan pula dengan kemunculan populisme Islamis. Fenomena menguatnya narasi Islamis untuk memengaruhi aktor dan produk kebijakan menciptakan sebuah persaingan sengit yang terpolarisasi antara kubu pluralis di satu sisi, dan kubu Islamis di sisi lain. Dalam hal ini, pemerintah Jokowi cenderung mengambil sikap menentang kubu Islamis dan bertindak sebagai kubu moderat, yang akhirnya mendapat simpati dan dukungan dari kubu pluralis. Kondisi ini sangat menguat menjelang Pemilu 2019, yang akarnya sudah ada sejak 2014. Beberapa wacana kebijakan pemerintah Jokowi yang cenderung menyerang sendi kepercayaan kelompok Islamis, seperti pelarangan cadar/celana cingkrang terhadap PNS, pelarangan sejumlah ustaz-ustaz tertentu untuk berceramah di instansi negara, dan keinginan melakukan sertifikasi ulama/dai, hingga kampanye anti-radikalisme yang masif, bisa dianggap sebagai bentuk respons pemerintah kepada kelompok konservatif. Narasi soal Pancasila digemakan kembali, pemerintah merangkul ormas-ormas Islam yang dipandang moderat (NU dan Muhammadiyah), sembari menciptakan beberapa aturan yang menyingkirkan ormas lain yang lebih radikal, semisal penetapan Perppu 2/2017 tentang Ormas sebagai dasar pembubaran HTI (Power, 2018). “Politik belah bambu”, mungkin itulah istilah yang tepat untuk menjelaskan fenomena yang sesungguhnya “illiberal” ini.

Dinda Mutia Khaerun Nisa

Fakultas Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun