3.
2014-2019
97 dari 560 kursi (17%)
4.
2019-2024
118 dari 575 kursi (21%)
Sumber: Diolah Penulis dari berbagai sumber.
Adapun dalam konteks yang berlaku di Indonesia sendiri, dapat dilihat bahwa perempuan telah memiliki hak pilih dalam pemilu sejak pertama kali pemilihan umum diselenggarakan pada tahun 1955. Di tahun 2004 melalui penerapan UU No. 12 Tahun 2003, terdapat satu inovasi baru yakni affirmative action yang mewajibkan setiap partai politik menempatkan sekurang-kurangnya 30% perempuan di daerah pemilihan pada pemilu legislatif.
Namun, kehadiran perempuan di parlemen Indonesia masih belum memenuhi kuota tersebut dimana salah satunya kemudian dapat dilihat pada komposisi keanggotaan DPR RI hasil Pileg 2004-2019. Bahkan di samping itu, hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa ide women vote for women belum mampu meningkatkan keterpilihan perempuan di parlemen dan penulis berpendapat bahwa hal tersebut setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurang seriusnya partai politik menyiapkan caleg-caleg perempuan yang berkualitas untuk bersaing dalam pemilu.
Pembuktian dari argumen ini yang pertama, caleg perempuan cenderung ditempatkan oleh partai politik pada nomor urut tiga (3), itupun semata-mata untuk memenuhi syarat dari tiga calon minimal ada satu (1) perempuan. Dalam masyarakat Indonesia, masalah nomor urut masih sangat penting karena ditengah banyaknya pilihan, orientasi calon nomor urut paling atas dianggap masyarakat adalah yang terbaik.
Hal ini terbukti dengan banyaknya calon yang terpilih melalui nomor urut satu atau dua, sekalipun sistem proporsional terbuka telah diterapkan. Selain itu, dalam suatu perbincangan pribadi penulis dengan pengurus partai yang tengah mempersiapkan diri mengikuti pemilu legislatif 2014, terdapat beberapa pengurus laki-laki yang mengeluarkan pernyataan, “caleg perempuan itu hanya untuk menuhi syarat aja”. Alhasil, merujuk pada pernyataan ini meskipun terlalu dini untuk digeneralisir, tetapi dapat dikatakan bahwa terdapat persepsi dari para pengurus bahwasannya caleg perempuan dianggap kurang penting.