Mohon tunggu...
Dinda Mutia Khaerun Nisa
Dinda Mutia Khaerun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti

Mahasiswa Magister Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Politik dan Isu Kuota 30% Perempuan dalam Keterwakilan Politik

30 Juni 2021   18:17 Diperbarui: 30 Juni 2021   18:56 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: Kompas)

Oleh: Dinda Mutia Khaerun Nisa 

Pada 30 Juni 2021, 18:16 WIB

Pemilu dalam negara yang demokratis perlu diselenggarakan dalam nuansa yang transparan serta menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, dan berorganisasi masyarakat. Partisipasi dan aspirasi masyarakat harus dapat tersalurkan melalui penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu dibutuhkan ketika jumlah penduduk terlalu banyak untuk menerapkan sistem demokrasi langsung seperti jaman Yunani kuno, sehingga perlu mengutus wakil-wakil untuk bermusyawarat. Pemilu juga merupakan sistem pergantian kekuasaan yang paling damai dalam masyarakat yang terbagi-bagi atas perbedaan kelompok serta kepentingan. 

Pemilu merupakan kontestasi memperebutkan kekuasaan antara partai politik maupun antara calon kepala pemerintahan di tingkat negara, provinsi, kota, kabupaten bahkan tingkat desa, rukun warga maupun rukun tetangga. Selain itu, pemilu sendiri juga merupakan proses untuk memilih kandidat, baik itu kandidat yang akan mengisi ruang eksekutif (Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, Wakil Walikota, Bupati, Wakil Bupati) maupun wakil rakyat yang akan mengisi ruang legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota, DPRD Kabupaten). 

Untuk menghadirkan wakil yang representatif, Indonesia telah menetapkan UU No. 12 Tahun 2003 yang mewajibkan Partai Politik mengajukan calon Legislatif pada setiap daerah pemilihan minimal 30% perempuan. Terlebih, praktik yang sering dikenal dengan istilah affirmative action ini setidaknya telah mencuat untuk pertama kalinya sejak diterapkan pada pemilihan umum 2004 dan kemudian tetap digunakan dalam pemilihan umum tahun 2019 kemarin.

Adapun, sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia memberi ruang dan kesempatan bagi setiap individu untuk berperan aktif dalam politik. Pasalnya, dari sekian banyak tolak ukur demokrasi, pendapat yang dikemukakan oleh Linz, Lipset dan Diamond ini dapat menjadi acuan bagaimana seharusnya pemerintahan yang demokratis berjalan, yakni: Pertama, dalam pemerintahan demokratis terjadi kompetisi perebutan kekuasaan yang berlangsung secara sehat dan tidak menggunakan senjata ataupun kekerasan dalam meraih kekuasaan. 

Kedua, adanya partisipasi secara utuh dari masyarakat dalam proses politik, terpenuhinya hak-hak masyarakat untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu merupakan parameternya. Ketiga, terdapat civil and political liberties dimana masyarakat mendapatkan kebebasan untuk berserikat dan membentuk organisasi, kebebasan media dalam menyuarakan informasi, masyarakat bebas mengemukakan pendapat. Ketiga hal ini merupakan hal yang amat fundamental di dalam demokrasi.

 Indonesia merupakan salah satu negara pelopor, karena sejak awal kemerdekaannya, perempuan telah mendapatkan hak untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu. Di satu sisi ini merupakan hal yang amat baik karena menunjukkan dipenuhinya hak-hak warga negara dalam demokrasi, di sisi lain ada persoalan ketimpangan wakil rakyat di parlemen. 

Data menunjukkan meskipun perempuan merupakan separuh pemilih, tapi wakil rakyat perempuan belum pernah menembus angka 1/3. Indonesia patut berbangga, karena pasca reformasi pernah memiliki Presiden perempuan (Ibu Megawati Soekarnoputri), anggota DPR RI, MPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten perempuan, Gubernur perempuan, Walikota/Bupati perempuan. Tonggak reformasi dijadikan momentum bagi para aktivis perempuan untuk melakukan transformasi perjuangan politik dari yang awalnya politics of ideas menjadi politics of presence yang ditandai dengan kuota perempuan minimal 30%.

Adapun, upaya memperjuangkan kuota perempuan minimal 30% ini didukung oleh argumentasi yang kuat, misalnya perempuan telah berkarir di banyak bidang namun kurang memiliki akses dalam kanal politik sehingga pengambilan keputusan kurang memerhatikan aspek perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi teralienasi dalam proses decision making, sehingga kehadiran perempuan dalam proses pengambilan keputusan menjadi penting. Pendapat lain yang cukup kuat dalam mendukung kuota perempuan minimal 30% adalah tiap-tiap kebijakan negara memiliki dampak yang berbeda antara warga negara perempuan dengan warga negara laki-laki. 

Pertama, kebijakan terkait hak reproduksi perempuan (seperti aborsi, keluarga berencana, pembersihan etnis, kematian ibu melahirkan) yang menyebabkan perempuan tidak sepenuhnya memiliki. Kedua, kebijakan yang menyangkut relasi antara laki-laki dan perempuan seperti masalah perkawinan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga yang masih menjadi catatan besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun