Mohon tunggu...
Adinda Mulia
Adinda Mulia Mohon Tunggu... Lainnya - Carpe Diem

Yang Pertama Selalu Kosong

Selanjutnya

Tutup

Nature

Long Beluah Melek Krisis Sosial-Ekologis

13 Agustus 2021   22:22 Diperbarui: 13 Agustus 2021   22:30 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimantan Utara provinsi termuda yang terletak di bagian utara pulau Kalimantan, resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012. Provinsi Kalimantan Utara beribukota di Tanjung Selor, yang berada di kab. Bulungan.

Sebagai Ibukota, sejak dahulu Bulungan menjadi sentral dari perdagangan yang melitasi kalimantan, hal ini disebabkan wilayah kesultanan Bulungan terletak pada jalur perdagangan internasional pantai timur kalimantan. Secara umum dapat dikatakan sumber mata pencaharian suku Bulungan adalah bertani, berladang dan berdagang. Namun seiring perkembangan zaman mata pencahariannya kini telah meluas dan beragam sebagaimana kota-kota besar di kalimantan pada umumnya.

Bulungan kini tidak bisa lagi digambarkan sebagaimana 10-20 tahun yang lalu, baik secara ekonomi-politik, sosial, budaya maupun ekologis. Penanda penting dari perubahan dinamika di Bulungan dapat dilihat dari melejitnya beragam jenis ekspansi pembangunan di berbagai sektor, baik infrastruktur, perumahan, perkantoran penataan kota hingga ekspansi perkebunan sawit dan sektor pertambangan yang membawa serta ragam infrastruktur pendukung sekaligus dengan bonus dampak-dampak sosial, ekonomi, politik dan ekologisnya. Meski demikian ketergantungan dari sektor pertanian , kehutanan dan perkebunan lebih domain hingga saat ini.

Hadirnya perkebunan sawit di Bulungan memiliki pengaruh kuat menggerakan beragam dinamika sosial dan dampak spesifik secara ekologis bagi masyarakat desa di Bulungan. Krisis ekologis di Indonesia, tidak terlepas Bulungan adalah akibat dari eksploitasi kekayaan alam sebagai komoditas tanpa mempertimbangkan prinsip ekologi (daya dukung dan daya tampung lingkungan) serta mengabaikan hak masyarakat lokal/adat. Akibatnya, ragam konflik agraria dan eksklusi masyarakat adat masih kerap terjadi, diikuti ragam krisis sosial-ekologis yang mengancam keberlanjutan ruang hidup dan kehidupan masyarakat pedesaan. Beragam dampak perkebunan sawit kini mudah dijumpai di banyak desa di wilayah Kabupaten Bulungan, termasuk di wilayah desa Long beluah.

Desa Long Beluah, mewakili jenis desa adat (multietnis) di Bulungan dengan agroekologi wilayah pinggiran sungai, dengan bentang alam yang berbukit. Desa ini menjadi sasaran ekspansi perkebunan sawit, selain letaknya yang strategis juga harga tanah yang murah, tapi juga erat kaitannya dengan tata kelola (governance). Long Beluah menurut penelusuran sejarah sudah ada sejak 1531 M, pada zaman kesultanan Bulungan. Desa ini mulanya bernama kampung Angun Lemlai, dengan mayoritas penduduknya bersuku Dayak dalam Rumpun Apokayan. Desa dengan luas wilayah 244,20 km, Berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2002 Pembentukan Kecamatan Tanjung Palas Barat, desa Long Beluah menjadi pusat pemerintahan kecamatan. Dipilihnya Long Beluah sebagai pusat pemerintahan kecamatan, bukan tanpa sebab. Sejak 1973 PT. Sumber Mas pemegang ijin konsesi HPH pertama beroperasi di wilayah desa Long Beluah, inilah yang menjadi “pull factor” (faktor penarik) pendatang dengan ragam suku dan asimilasi budaya serta pergeseran sistem ekonomi berkembang hadir di Long Beluah.

Jika ditelusuri lebih dalam Agroekologi masyarakat di desa Long Beluah banyak bertumpu pada ekosistem sungai dan sumberdaya hutan, yang secara ekologi pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit merupakan proses konversi atau alih fungsi lahan yang merubah bentang alam lahan secara ekstrim menyebabkan kerusakan fungsi dan jasa lingkungan serta meningkatkan resiko bencana ekologis. Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat lokal beserta hak-hak tradisionalnya. Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat lokal sangat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan, perubahan bentang alam terutama hutan, lahan, badan air, danau dan sungai, akan berlanjut pada menutup, membatasi dan mengurangi kemampuan dan akses masyarakat adat, pedesaan dan petani, terhadap alam yang menjadi sumber pencaharian, pangan dan papan masyarakat desa. Secara politik, masyarakat lokal (komunitas adat), sejak ekspansi sawit sering kehilangan jati diri dan kedaulatan dalam menentukan hidupnya. Di Kalimantan Utara banyak kasus menyebutkan bahwa masyarakat kehilangan hutan adat salah satunya karena perluasan areal perkebunan sawit, kehilangan hutan adat seringkali memaksa masyarakat menjadi buruh di tanahnya sendiri.

Adapun persoalan krisis sosial-ekologis di Long Beluah dari sisi Ketersediaan Air, hampir semua industri ekstraktif (perkebunan dan tambang) memiliki persoalan pencemaran pada ketersediaan air bersih, yang tidak hanya terjadi pada desa Long Beluah tapi juga desa disekitarnya. Keseimbangan Biodiversitas, Di desa Long Beluah proses simbiosis mutualisme didalam ekosistem hutan mulai berhenti, beragam pohon-pohon utama yang menjadi pengikat ekosistem hutan mulai hilang . Keadilan-Ruang, Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 14, yang membuka peluang “pengambilalihan” sepanjang dipenuhinya kompensasi, pendekatan ganti rugi ini bertentangan dengan konsep Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Bagaimanapun  problem utama dalam kerusakan dan krisis ekosistem salah satunya bersimpul pada “Legal non Legitimed”  sebab itu pada praktiknya harus dipastikan bahwa “right mush connected with justice”. Perda Adat penting, namun memastikan Perda Adat itu berkeadilan sosial dan ekologis bagi seluruh lapisan sosial di masyarakat adat juga tidak kalah penting.

“Rakyat miskin pedesaan jika mampu menyadarkan diri untuk bangkit bergerak, itulah awal dari pembangunan (yang sebenarnya…)”(Sajogyo, Lorejo, 2005)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun