Mohon tunggu...
Dinda Mumtazah
Dinda Mumtazah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Student of Political Sciences, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Populisme, Sebuah Era Baru Pasca Otoritarianisme

15 September 2024   23:37 Diperbarui: 15 September 2024   23:38 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa negara di dunia dilanda tren baru, dimana militer mulai mengintervensi arena politik pemerintahan. Di Tiongkok, paham komunisme telah lama menguat. Menyebarkan ke berbagai wilayah di Asia, bahkan Timur Tengah. 

Indonesia mengalami peredupan demokrasi pasca majunya Soeharto. Regulasi fusi partai politik dan berakhirnya masa mengambang menandai kemunduran Partai Ideologi progresif di Indonesia. 

 Partai politik idealnya menjadi rumah bagi konstituen untuk melimpahkan aspirasi dan kepentingan. Akan tetapi pasca Orde Baru, relasi partai dengan rakyat mulai mengendur. Sistem kaderisasi kepartaian tidak lagi lekat dengan ideologi dan pembentukan kader progresif, pergeseran ini ditandai dengan gaya partai yang cenderung oportunistik dan dekat dengan elite. 

di era Orba, partai menjadi sarang pembentukan oligarki (Hadiz, 2004). Culture politic elite berubah menjadi basis kelompok bisnis dan legislator pengejar proyek pemerintah. Kondisi ini berimplikasi pada kemunculan korupsi dan nepotisme yang semakin menjamur. 

Tahun 2000-an seharusnya menjadi titik konsolidasi demokrasi di Indonesia, sayangnya rakyat merasa kehilangan rumah aspirasinya, partai yang diharapkan menjadi kendaraan masyarakat untuk menyentuh meja kebijakan nyatanya hanya menjadi alat elite untuk mencapai tujuan politik saja.

 Istilah kebaikan bersama dalam ilmu politik dipertanyakan kembali, masyarakat membutuhkan pegangan untuk menumpukan harapan dan suara. 

 Disinilah fenomena populisme mulai bersemi, muncul harapan baru akan figure tertentu yang diharapkan membawa kepentingan rakyat dan bukan elite. Popularitas dan kepercayaan rakyat terhadap partai politik mulai menurun karena krisisnya nilai ideologi kepartaian, digantikan dengan sosok tokoh populis yang kerap kali disebut sebagai angin segar atas kegelisahan demokrasi pasca era otoritarianisme (Robinson, 2004).

Rakyat menumpukan harapan yang besar pada individu ini. Sehingga muncul tokoh politik baru yang dicintai rakyat, yang dianggap merupakan orang non-elite dan murni berasal dari rakyat, menjadi representasi suara wong cilik.

 Kepercayaan rakyat pada figure tertentu ini didasari atas trauma kesewenang wenangan elite dan menjamurnya KKN di era Orba. Di indonesia fenomena populisme ditandai dengan kemunculan Jokowi.

Riau24.com
Riau24.com

 Jokowi menjadi sejarah baru dalam rangkaian kepemimpinan politik di Indonesia. Ia bukan bagian dari elite lawas yang telah lama menguasai arena politik. Tidak seperti Megawati, SBY ataupun Prabowo yang merupakan bagian dari tokoh tokoh reformasi dan elite pemerintah lama, Jokowi memulai karir politik dan membangun karir politik di level grassroot. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun