Mohon tunggu...
Dinda KurniaPutri
Dinda KurniaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa aktif S1 Administrasi Publik Universitas Airlangga, Surabaya.

Seorang mahasiswa aktif semester 2 S1 Administrasi Publik, Universitas Airlangga. Saat ini tengah tergabung dalam kepanitian PUMA 2022 sebagai anggota Divisi Publikasi, Dekorasi, dan Dokumentasi. Telah terbiasa dengan pembuatan konten media sosial dan desain grafis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Urgensi Permendikbudristek Anti Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

26 Juni 2022   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2022   01:16 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan kekerasan seksual sedang ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia setelah terkuaknya berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Hal yang sangat disayangkan publik mengingat perguruan tinggi merupakan instansi akademik pemerintahan dimana seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk menuntut ilmu, namun kekerasan seksual masih menjadi permasalahan yang belum rampung di instansi tersebut.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan (2017) ada 15 bentuk kekerasan seksual, antara lain perkosaan,  pelecehan seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, perbudakan seksual, permaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, kontrol seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, dan praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskrimasi perempuan. Banyak kekerasan seksual yang terjadi di beberapa perguruan tinggi ternama. 

Modus-modus yang digunakan pelaku, antara lain bimbingan skripsi, kegiatan organisasi kampus, atas dasar senior junior, dan kegiatan perkuliahan sehari-hari. Hanya sedikit kasus yang terkuak diakibatkan dari korban yang enggan melaporkan dan memilih bungkam. Kebungkaman korban merupakan dampak dari abuse of power dari pelaku, entah korban diancam atau diiming-iming sesuatu. 

Dalam beberapa kasus korban sudah melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada petinggi kampus, tetapi tidak membuahkan hasil. Bahkan pihak perguruan tinggi sendiri menawarkan penyelesaian secara damai dan meminta korban bertindak seperti kekerasan seksual tidak pernah terjadi lantaran apabila kasus tersebut sampai tersebar luas ke publik mana nama baik instansi perguruan tinggi akan dicap buruk oleh masyarakat.

Kekerasan seksual berdampak bukan hanya pada fisik korban, melainkan pada kondisi mental dan psikis. Kondisi mental dan psikis inilah yang memiliki dampak paling besar. Gangguan psikis korban akan menimbulkan rasa trauma, ketakutan, guncangan emosi, depresi, bahkan bunuh diri. Lemahnya penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual oleh pihak perguruan tinggi menimbulkan perhatian khusus pemerintah untuk membuat kebijakan baru yang lebih spesifik menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. 

Oleh karena itu, pada 31 Agustus 2021 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan peraturan baru, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi (Kemendikbudristek, 2021).

Kasus-kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Tahun 2021

Sepanjang  tahun 2021 banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi muncul ke permukaan. Beberapa dari kasus tersebut diketahui bukan merupakan kasus baru, dengan kata lain bahwa korban mengalami kekerasan seksual lebih dari satu kali. Berikut deretan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang mencuri perhatian publik.

  • Kasus pelecehan mahasiswi UNJ oleh dosen

Kasus ini terungkap pada Desember 2021. Sejumlah mahasiswi UNJ mengalami pelecehan dari dosen beinisial DA berupa chat mesum, perkataan menggoda saat bimbingan, dan memaksa datang ke rumah korban. Akibat kasus pelecehan yang terjadi ini, pihak UNJ menetapkan peraturan kekerasan seksual dan membentuk Satgas Anti Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

  • Kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi di UNRI.

Seorang mahasiswi Universitas Riau mengalami pelecehan seksual oleh dekannya berinisial SH. Korban mengalami pelecehan saat melakukan bimbingan skripsi. Korban berinisial L sampai melaporkan pelecehan yang dialaminya ke kepolisian. Namun, pelaku SH melaporkan balik korban L atas tuduhan pencemaran nama baik.

  • Kasus pelecehan yang dilakukan dosen IAIN.

Kasus ini teruangkap ke publik usai sebuah akun twitter mahasiswi IAIN Kediri mengaku pernah menjadi korban pelecehan pada 2017. Korban mengalami pelecehan oleh dosen beinisial A secara verbal berupa kalimat mesum dan kata-kata menggoda korban.

  • Kasus pelecehan seksual saat KKN.

Kasus ini dialami oleh seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM). Pada 30 Juni 2021, korban sedang menjalani KKN di Pulau Seram, Maluku. Pelaku pelecehan seksual ini adalah teman sekampusnya yang berinisial HS. Kronologi kasus ini pertama kali diungkap ke publik oleh salah satu media mahasiswa UGM, Balairungpress.

  • Kasus pemerkosaan oleh mahasiswa UMY.

Kasus ini pertama diungkap ke publik oleh salah satu akun instagram bernama @dear_umycatcallers. Pelaku pemerkosaan ini adalah seorang aktivis di UMY berinisial MKA dan memakan 3 korban. Setelah mengetahui kasus ini, Gunawan Budiyanto selaku Rektor UMY bertindak cepat dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelaku dan korban. Hasil pemeriksaan membuktikan pelaku MKS melakukan pelecehan seksual dan diberhentikan sebagai mahasiswa dari UMY secara tidak hormat.

  • Kasus bunuh diri Novia Widyasari.

Kasus ini berawal dari ditemukannya Novia meninggal di samping makam ayahnya dengan meminum sianida. Bunuh diri yang dilakukan Novia diduga akibat depresi dengan masalah-masalah yang menimpanya. Ditemukan bukti bahwa sebelumnya Novia memiliki masalah hubungan percintaan dengan Bripda Randy. Bahkan Bripda Randy diketahui pernah melakukan pemerkosaan sampai Novia hamil. Bukan itu saja, Bripda Randy memaksa Novia untuk melakukan aborsi. Saat ini Bripda Randy terjerat pasal 384 juncto 55 KUHP. Selain masalah tersebut, sebelumnya Novia pernah mengalami pelecehan seksual pada 2017 lalu. Pelaku pelecehan tersebut adalah seorang kakak tingkatnya di UB berinisial RAW. Novia melaporkan pelecehan tersebut ke pihak kampus pada Januari 2020. Dekan FIB UB mengungkap bahwa kasus tersebut telah diselesaikan.

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Melihat semakin maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi. Permendikbudristek ini dikeluarkan pada November 2021. Sejak dikeluarkannya kebijakan Permendikbudristek ini, semakin banyak korban yang berani untuk angkat suara dan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya di kampus. Hal itu tentu membawa dampak positif dimana korban tidak hanya bungkam  (Elindawati & Indonesia, 2021). Banyak sekali modus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Terdapat 21 bentuk kekerasan seksual menurut Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 pasal 5, antara lain.

  • Mengatakan perkataan yang melecehkan  fisik atau kondisi tubuh.
  • Secara sengaja memperlihatkan alat kelaminnya tanpa persetujuan kedua pihak.
  • Merayu, mengatakan lelucon, ataupun siulan yang bernuansa seksual.
  • Menatap korban dengan tatapan seksual.
  • Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bersifat seksual.
  • Merekam atau menyebarkan segala bentuk dokumentasi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan dua pihak.
  • Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bersifat seksual tanpa persetujuan dua pihak.
  • Mengintip korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau mengganggu korban di ruang pribadinya.
  • Membujuk, memaksa, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban melakukan kegiatan seksual tanpa kehendak korban.
  • Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
  • Segala bentuk sentuhan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
  • Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan dan/atau memaksa korban membuka pakaian.
  • Mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa maupun tenaga pendidik yang bernuansa kekerasan seksual.
  • Melakukan percobaan pemerkosaan, namun penetrasi tidak terjadi.
  • Melakukan pemerkosaan termasuk penetrasi selain dengan alat kelamin.
  • Memaksa korban untuk melakukan aborsi.
  • Memaksa korban untuk hamil.
  • Sengaja membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
  • Menyebarkan informasi mengenai tubuh korban yang bersifat seksual tanpa persetujuan korban.
  • Memaksa korban melakukan transaksi seksual.
  • Melakukan segala bentuk perbuatan kekerasan seksual lainnya.

Pada Bab III Pasal 10 dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 terdapat langkah-langkah penanganan kekerasan seksual yang wajib dilaksanakan perguruan tinggi, antara lain 1) pendampingan, 2) perlindungan, 3) pengenaan sanksi administratif, 4) pemulihan korban. Keempat langkah penanganan tersebut telah dipaparkan secara rinci dalam pasal-pasal Permendikbudristek (Oslami, 2021). Walaupun Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mendapat respon positif,  tetapi banyak juga yang kontra dengan Permendikbudristek ini. Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad menyatakan bahwa dalam pasal 5 Permendikbudristek 30/2021 secara tersirat melegalkan seks bebas berbasis persetujuan. Begitu juga dengan pendapat Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Fikri Faqih menyatakan frasa "tanpa persetujuan korban" mengarah kepada sexual consent. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan norma hukum di Indonesia, dimana hubungan zina merupakan perilaku asusila dan diancam pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun