Mohon tunggu...
Dinda Lindia Cahyani
Dinda Lindia Cahyani Mohon Tunggu... Pembelajar -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semangat Belajar dari Film "The First Grader"

9 Maret 2018   16:50 Diperbarui: 9 Maret 2018   17:05 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada kata terlambat untuk belajar, begitulah semangat yang digaungkan dari film "The First Grader" ini. Dimana film ini disutradai oleh Justin Chadwick yang diangkat dari kisah nyata seorang Kimani Maruge. 

Kimani Maruge adalah seorang lelaki tua berusia 84 tahun berkewarganegaraan Kenya. Semangat belajarnya bermula dari pengumuman pemerintah tentang pendidikan sekolah dasar gratis untuk seluruh kalangan yang diumumkan lewat radio pada tahun 2003. Dengan persyaratan akta lahir dia pun bergegas menuju sekolah terdekat di daerahnya. Dia menemui Jane Obinchu yang merupakan kepala sekolah dan guru di sekolah tersebut. Sang kepala sekolah terkejut dengan kedatangan  Maruge, bagaimana tidak, para orangtua di kampung itu mendaftarkan anak-anaknya sedangkan Maruge  mendaftarkan dirinya sendiri untuk menjadi murid yang ingin belajar membaca. Rekan pengajar Jane Obinchu, Alfred, menertawakannya dan memintanya untuk pergi. 

Namun semangat Maruge tidak berhenti di situ. Ketika kembali ke rumahnya dia teringat kejadian masa lalu saat kelompok Mau Mau melawan Inggris pada tahun 1950. Di kepalanya terlintas bagaimana istri dan anaknya dibunuh di depan matanya sendiri, dan kejadian penganiayaan terhadap dirinya. Lalu dia membuka sepucuk surat dengan amplop yang rapi. Dia melihat surat tersebut namun sulit untuk memahami isinya. Lantas dia pun kembali bangkit dan bergegas menuju sekolah. 

Jane Obinchu yang memulai aktifitas belajar melihat Maruge berdiri di depan gerbang sekolah lalu dia menghampiri lelaki itu. Dengan alasan yang sama dia menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan belajar di sana. Sang kepala sekolah pun menjelaskan bahwa hal itu tidak mungkin, karena sekolah itu ditujukan untuk anak-anak sekolah dasar saja. Namun kembali ia menuntut bahwa pemerintah mengumumkan pendidikan untuk semua kalangan, yang artinya tak terbatas usia. Jane mengatakan bahwa seorang murid harus memiliki seragam dan alat tulis. Dengan rasa hormat Jane pamit meninggalkannya dan menyuruhnya pergi.

Maruge pun pergi dari sekolah tersebut kembali ke tempatnya. Di perjalanan dia mendapati teman-temannya duduk-duduk sambil mengobrol dan menikmati minuman. Mereka meminta Maruge bergabung, namun dia mengabaikan dan pergi ke suatu tempat. Dia membeli pakaian untuk dijadikan seragam dan buku serta pensil. 

Maruge kembali ke sekolah dengan perlengkapan yang dijelaskan Jane Obinchu. Sang kepala sekolah itu benar-benar dikejutkan oleh usaha Maruge yang tak kenal lelah untuk masuk ke sekolah dan ingin belajar. Karena kegigihan itu akhirnya Jane Obinchu mengizinkan Maruge untuk bergabung dengan murid-murid yang lain. Namun ternyata semangat Maruge dalam belajar membuat isu di kalangan masyarakat. 

Ingatan masa lalu Maruge tidak hilang dari kepalanya. Sesekali hadir saat dia berada di sekolah dan membuatnya berhalusinasi. Sehingga menyebabkan dia menyerang murid yang lain di sekolah. Hal itu membuat guru-guru yang lain khawatir dan juga hal tersebut menjadi pemicu ketidaksukaan masyarakat terhadap kehadiran Maruge di sekolah. Masyarakat menuntut agar Maruge keluar dari sekolah. Berita ini sampai kepada kepala pendidikan di pusat. Mereka meminta Jane Obinchu selaku kepala sekolah untuk mengeluarkan Maruge, dan jika dia bersikukuh ingin belajar, Maruge diminta untuk belajar di sekolah khusus orang dewasa di pusat kota. Dengan menyesal Jane Obinchu meminta Maruge untuk berhenti belajar di sekolah dasar dan meminta belajar di sekolah di kota yang dikhususkan untuk orang dewasa.

Maruge pun berjalan kaki ke kota dan menghadiri sekolah yang dimaksud. Namun sekolah tersebut tidak sesuai dengan kemampuan Maruge. Dia tak mampu menyerap pelajaran dan yang diinginkannya hanya untuk belajar membaca. Akhirnya Maruge kembali ke sekolah dimana Jane Obinchu pernah mengajarinya dengan sabar, dia menyampaikan bahwa dia tak sanggup memahami pelajaran yang diberikan di sekolah khusus orang dewasa. Lagi pula tempat itu terlalu jauh untuknya dengan berjalan kaki karena dia tak memiliki uang untuk menumpang kendaraan umu. Dia meminta Jane mengijinkan Maruge untuk kembali belajar dengannya. 

Jane Obinchu mengijinkan kembali Maruge untuk belajar di sekolah yang ia pimpin. Namun ujian ternyata tidak berhenti disana. Baik untuk Jane Obinchu yang memperjuangkan usaha Maruge yang ingin belajar, karena bagi Jane, Maruge adalah muridnya. Begitupula ujian yang diberikan kepada Maruge tidak berhenti sampai disana. Ending film ini sangat menyentuh dan menyentuh. Karena akhirnya Maruge bertemu dengan pemerintah Kenya dan meminta agar mereka bisa menghargainya sebagai salah satu pejuang untuk memerdekakan Kenya, dan memberikan izin kepadanya untuk belajar di sekolah dasar yang dipimpin Jane Obinchu. Sehingga Maruge pun semangat Maruge ini menyebar tidak hanya di negaranya, namun diberitakan oleh media Internasional seperti BBC, CNN, dsb.

Film ini saya rekomendasikan untuk ditonton karena memberikan semangat untuk tidak menyerah dalam belajar. Ada kutipan yang bagus dari film tersebut yaitu, "The power is in the pen," yang maknanya membaca dan menulis itu sangat penting. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun