Manganan atau bisa disebut juga dengan sedekah bumi merupakan sebuah tradisi yang berasal dari Indonesia. Beberapa masyarakat melakukan tradisi tersebut dengan cara makan bersama-sama dengan warga sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Awalnya tradisi Manganan berasal dari masyarakat petani yang bersukur atas hasil panen. Salah satu cerpen yang mengangkat tradisi ini yaitu berjudul "Manganan" karya Yanuarista Cahyaningrum pada tahun 2018. Cerpen tersebut menceritakan tentang tradisi tahunan yang diadakan di kota Tuban yaitu Manganan.
Manganan dalam cerpen yang dituliskan oleh Yanuarista adalah tradisi Manganan dengan cara makan bersama-sama dengan warga di area pemakaman. Seorang gadis bernama Clara yang digambarkan acuh terhadap tradisi yang ada di desanya karena kecanduan dengan gadgetnya. Jika semua gadis di desanya ikut membantu mempersiapkan acara tersebut, ia malah asyik dengan gadgetnya. Hingga pada akhirnya Clara ikut membantu karena diancam akan diambil gadgetnya oleh ibunya jika masih saja memainkan gadgetnya.
Saat acara tersebut dimulai, kyai atau ustadz akan membacakan doa sebagai tanda syukur. Tapi lagi-lagi, Clara si gadis modern malah asyik dengan gadgetnya. Ia bahkan berucap sinis kepada ibunya dan mengatakan bahwa untuk apa makan di area pemakaman seperti tidak ada tempat saja untuk makan bersama. Doni, tetangga yang duduk di sebelahnya mendengar ucapan sinis Clara dan berkata,
“Tentu, aku paham betul makna dari diadakan acara ini, lihatlah sekeliling kita, apa kamu melihat perbedaan latar sosialnya? Lihat itu ada Pak RT, Pak Tomo yang menjadi juragan ikan, Pak Sudirman yang memiliki sawah banyak di desa ini, dan disana ada pak Jono yang tinggal sebatang kara dan hanya bekerja sebagai tukang bersih-bersih sekolah, mereka semua tak tampak berbeda kan, mereka semua terlihat sama saat ini.” Jelas Doni.
Doni berusaha menjelaskan bahwa tradisi yang dilakukan adalah untuk mengingatkan seseorang bahwa sehebat apapun ia dan sekenyang apapun di dunia, nantinya akan berakhir di pemakaman dan para tetangganya juga yang membawa jenazanya kesana. Akhirnya Clara tersadar, bahwa acara yang awalnya dikira menjijikkan olehnya itu mengandung unsur kearifan lokal Tuban seperti kekeluargaan dan spiritual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H