Mohon tunggu...
Dindah Mulyani
Dindah Mulyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tetap semangat

Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Petty Corruption: Analisis Praktik Korupsi Skala Kecil dan Dampaknya terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik

23 Desember 2024   10:05 Diperbarui: 23 Desember 2024   10:18 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: https://www.instagram.com/p/C4c0ZszrzbY/?igsh=MTBmZnIweHRkMG9tZw==)

Artikel ini mengkaji fenomena korupsi kecil (petty corruption) yang terjadi dalam layanan publik sehari-hari. Fokus penelitian adalah pada dampak praktik korupsi skala kecil terhadap kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Melalui analisis literatur dan studi kasus, artikel ini mengidentifikasi pola-pola umum petty corruption, faktor-faktor penyebab, serta strategi penanganannya.

  Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin, “Corruptio” yang artinya “kerusakan” atau “kebusukan”. Istilah tersebut kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris sebagai “Corruption” atau bahasa indonesia-nya korupsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara baik itu berupa perusahaan, organisasi, yayasan untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

   Korupsi tetap menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia, yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Dalam konteks ini, beberapa perkembangan terbaru menunjukkan kompleksitas dan urgensi upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Korupsi tidak selalu terjadi dalam skala besar yang melibatkan jumlah uang yang fantastis atau pejabat tinggi. Salah satu bentuk korupsi yang sering diabaikan adalah petty corruption atau korupsi kecil-kecilan. Meskipun terlihat sepele, korupsi jenis ini memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan.

  Petty corruption merujuk pada tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dalam interaksi sehari-hari dengan masyarakat. Bentuknya bisa berupa pungutan liar, gratifikasi, penyuapan, atau uang pelicin untuk mempermudah pelayanan publik. Misalnya, seseorang mungkin memberikan uang kepada petugas untuk mempercepat pengurusan dokumen resmi atau membayar “uang damai” kepada polisi saat ditilang. Tindakan ini sering dianggap biasa oleh masyarakat, sehingga menciptakan budaya permisif terhadap korupsi. Wuryono Prakoso (Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK), menegaskan bahwa meskipun korupsi kecil terlihat tidak berbahaya, ia dapat membentuk kebiasaan buruk dalam birokrasi dan merugikan hak-hak masyarakat. Jika dibiarkan, pelaku petty corruption dapat berkembang menjadi tindakan kejahatan yang lebih besar.

   Survei Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap perilaku korupsi kecil. Pada tahun 2022, skor persepsi terhadap perilaku antikorupsi menurun menjadi 3,80 dari 3,83 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan pengurangan kesadaran masyarakat mengenai ketidaknormalan perilaku korupsi kecil, seperti memberikan uang kepada sekolah agar anak diterima di institusi pendidikan tertentu. Praktik petty corruption umumnya memiliki pola yang sistematis dan terstruktur, melibatkan pemanfaatan celah prosedur birokrasi, penciptaan hambatan artificial dalam pelayanan, normalisasi praktek “uang pelicin”, jaringan informal petugas yang terlibat.

   Di negara berkembang petty corruption, atau korupsi kecil sering kali menjadi masalah yang mengakar dalam birokrasi pemerintahan di negara berkembang. Berbagai faktor sosial dan budaya berkontribusi terhadap prevalensinya, nyatanya Jaringan sosial yang kuat, termasuk hubungan kekeluargaan dan patron-klien, sering kali menciptakan tekanan untuk terlibat dalam praktik korupsi. Pegawai mungkin merasa terpaksa untuk memberikan layanan atau keuntungan tertentu kepada orang-orang dalam jaringan sosial mereka sebagai bentuk balas budi atau loyalitas. Hal ini terjadi karena norma-norma informal sering kali lebih kuat daripada hukum formal, sehingga menciptakan konflik antara kewajiban profesional dan hubungan pribadi.

   Banyak di negara berkembang, pegawai sering kali melihat diri mereka sebagai elit penguasa daripada pelayan publik. Persepsi ini dapat berasal dari sejarah kolonial atau praktik administrasi tradisional yang menempatkan pejabat publik dalam posisi kekuasaan. Ketika pegawai merasa bahwa mereka memiliki hak untuk memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, maka perilaku korupsi kecil menjadi lebih umum. Ketidakpuasan terhadap sistem administrasi publik juga dapat mendorong praktik korupsi kecil. Ketika masyarakat merasa bahwa layanan publik tidak memadai atau tidak efisien, mereka mungkin merasa bahwa memberikan suap adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelayanan yang layak. Hal ini menciptakan siklus di mana korupsi dianggap sebagai solusi atas masalah yang sebenarnya disebabkan oleh kelemahan sistem itu sendiri. Korupsi kecil sering kali menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien dan tidak adil, di mana hanya mereka yang mampu membayar lebih yang mendapatkan layanan lebih baik. Ketika korupsi dianggap biasa, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan aparat penegak hukum akan menurun.

   Ditambah tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka serta dampak negatif dari korupsi juga berperan penting. Di banyak negara berkembang, kurangnya pendidikan mengenai integritas dan akuntabilitas membuat masyarakat lebih rentan terhadap praktik korupsi. Ketika masyarakat tidak menyadari hak-hak mereka atau tidak memiliki pengetahuan tentang cara melaporkan korupsi, perilaku korupsi kecil dapat terus berlanjut tanpa ada tantangan. Kebiasaan menerima atau memberikan suap dapat mengajarkan generasi muda bahwa korupsi adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan mereka. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa untuk mengatasi petty corruption di kalangan pegawai di negara berkembang, pendekatan yang komprehensif diperlukan, termasuk perubahan dalam norma budaya, peningkatan pendidikan publik, serta reformasi struktural dalam birokrasi pemerintahan.

   Didalam Al-Qur’an juga sudah dijelaskan terkait larangan melakukan korupsi, salah satunya dalam Surat An-Nisa ayat 29.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun