Sebagai generasi yang lahir pada tahun 2000, maka sekarang kita sedang berada di usia 21 tahun. Usia dimana kehidupan kuliah menjadi lebih rumit dan melelahkan.Â
Rentetan kewajiban magang, proposal, dan tentunya skripsi harus segera dituntaskan. Pemikiran ingin menikah tak luput jadi beban pikiran. Teman-teman sedjawat banyak yang sudah mendahului ke pelaminan.Â
Tak sedikit pula yang sudah punya momongan. Namun, disisi lain ada keinginan yang rasanya lebih ingin didahulukan. Iya, mendapat pekerjaan. Rasanya keinginan paling populer kedua setelah menikah adalah bekerja agar memiliki penghasilan pribadi.
Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh rasa bersalah dan enggan lagi merepotkan kedua orang tua. Terlebih lagi bagi para anak pertama. Tak pandang pria ataupun wanita sama-sama memikul beban yang sama. Menyegerakan kesuksesan dan membalas budi kepada orang tua. Ah, satu lagi, berusaha menjadi bahan percontohan yang baik kepada adik-adik sekalian membangun pondasi gedung koneksi.
Bagi mereka yang cukup beruntung untuk bisa merasakan bangku kuliah, sedikit banyak diuntungkan karena memiliki bekal yang cukup 'dipertimbangkan'. Namun, hal ini bukan berarti bisa mematahkan semangat rekan-rekan yang tidak berkuliah. Coba lihat sisi positifnya. Rekan-rekan bisa memulai lebih 'awal'. Merintis sejak dini sambil belajar langsung dari lingkungan, masyarakat dan tentunya kegagalan.
Selagi membahas tentang kegagalan, usia 21 tahun menjadi usia paling tepat untuk kita merasakannya. Iya kita semua tentunya ingin mencapai kesuksesan, lagipula siapa si yang ingin gagal.
Namun, coba kita berusaha untuk keluar dari zona nyaman. Coba hal baru yang lebih menantang. Jajal sesuatu yang lebih besar. Beranikan diri mengambil resiko dan belajar mengatasinya.Â
Jika diusia muda kita hanya diam tanpa melakukan apa-apa dengan pemikiran bahwa 'aku akan cari kerja usai lulus kuliah' maka kita sama saja telah menyia-nyiakan usia 21 tahun yang harusnya bisa diisi dengan hal-hal pada kalimat-kalimat sebelum titik terakhir yang kamu baca.
Sebagai sesama perwakilan penduduk berusia 21 tahunan, saya juga tidak lepas dari rutinitas kemalasan dan menunda-nunda pekerjaan. Ketakutan dan keminderan juga menjadi penghalang besar ketika ingin mencoba mengambil langkah untuk melawan mereka yang 'punya'.Â
Punya koneksi, punya uang, punya orang dalam, dan punya yang saya tidak punya.Â
Tapi kelebihan saya adalah berpengalaman dalam kegagalan. Gagal tes ini, gagal tes itu, gagal jadi juara dalam perlombaan, gagal seleksi magang online, bahkan gagal dalam dunia percintaan. Eh, haha.
Namun rentetan kegagalan tersebut telah menguatkan saya sampai saya terbiasa dan tidak lagi memikirkannya. Toh, dari 10 bola yang saya lempar setidaknya ada 3 yang masuk ke jaring.Â
Jika kita tidak pernah memberanikan diri untuk menjadi bagian dari 'permainan', kita tidak akan pernah tau kemampuan dalam diri.Â
Oleh sebab itu, tulisan ini dimaksutkan untuk menyulut api dalam diri rekan-rekan yang sudah lama padam. Mari sama-sama menghabiskan tahun ini sebagai pemain langsung dilapangan. Bukan lagi cadangan apalagi penonton barisan paling belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H