Media Indonesia beberapa waktu ini sedang sibuk membahas mengenai pembatalan SKB 3 Mentri oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Seperti yang kita tahu bahwa SKB 3 Mentri ini sendiri berisi tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan menengah. Adapun latar belakang SKB 3 Mentri ini adalah rentetan kasus pelarangan maupun pemaksaan bagi peserta didik untuk memakai seragam sekolah yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa pemerintah daerah ini menetapkan aturan yang membuat banyak siswa merasa tidak nyaman saat mereka diharuskan ataupun tidak diperbolehkan menggunakan seragam sekolah sesuai dengan kehendaknya. Kita bisa mengambil contoh kasus yang belum lama ini cukup mencuri perhatian. Di Padang, Sumatera Barat, terdapat aturan dimana peserta didik dan pendidik yang ada di lingkungan sekolah diminta mengenakan atribut kekhasan tertentu. Hal ini tentunya menimbulkan beberapa keluhan bagi mereka yang tidak mau menggunakannya namun harus tetap memakainya karena sudah menjadi peraturan yang wajib dijalankan oleh semua pihak di sekolah tersebut. Oleh sebab itu muncullah SKB 3 Mentri mengenai penggunaan seragam ini yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas pada Rabu, 3 Februari 2021.
Seperti yang kita ketahui bahwa SKB 3 Mentri ini langsung memunculkan pro kontra dari berbagai pihak. Pada poin ketiga Surat Keputusan Bersama 3 Mentri ini disebutkan bahwa pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama. Pihak yang setuju dengan keputusan ini menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan juga kebebasan berekspresi sesuai kepercayaan dan agama masing-masing. Menurut Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyatakan bahwa negara tidak boleh melarang dan memaksakan ekspresi bebebasan beragama dan berkeyakinan seseorang. Ia juga menambahkan bahwa pembelajaran tentang agama merupakan tanggungjawab orang tua. Sedangkan dari sisi yang kontra akan keputusan kebanyakan beranggapan bahwa SKB 3 Mentri ini merupakan upaya menentang ajaran agama Islam yang mewajibkan penggunaan jilbab dan pakaian muslim. Pembahasan mengenai Islam memang sedikit sensitive hingga ditakutkan menimbulkan kesalahpahaman. Berdasarkan hal tersebut kita bisa melihat bagaimana SKB 3 Mentri ini menimbulkan banyak penolakan dari beberapa pihak.
      Â
Sebagai seorang pelajar saya melihat bahwa SKB 3 Mentri ini perlu dikaji ulang jika memang ingin diterapkan. Negara kita memang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika dan menjunjung tinggi perbedaan serta rasa toleransi sesama. Begitu juga dengan dukungan penuh akan kebebasan berekspresi dan berpenampilan. Namun, disisi lain kita juga harus mengigat bahwa negara ini penduduknya mayoritas beragama Islam. Peraturan berbusana bagi muslimah diatur dengan sebaik-baiknya disini. Maka saya pribadi ikut mendukung keputusan MA dalam membatalkan SKB 3 Mentri ini. Tentunya dengan harapan bahwa pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan baru mengenai penggunaan seragama bagi peserta didik dan pendidik yang bisa memastikan penghormatan terhadap keragaman dan kebebasan beragama. Selain itu isi peraturan yang dibuat sebaiknya dibuat sejelas dan setepat mungkin dalam penyusunan kalimatnya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dari berbagai pihak dan memicu penolakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H