Mohon tunggu...
Komang Ayu Dinda Darini
Komang Ayu Dinda Darini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar

halo saya adalah mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar hobi saya adalah menulis salam kenal!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harmoni atau ketegangan? Dinamika Multikultural dalam Tradisi Terteran di Karangasem Bali

19 Desember 2024   09:00 Diperbarui: 18 Desember 2024   21:18 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara Terteran di Karangasem, Bali: Tradisi sakral yang menghormati leluhur dan menjaga keharmonisan alam semesta. 

Menurut Hoed (2012), Bali memiliki tradisi panjang dalam hidup berdampingan secara damai antara berbagai kelompok agama dan budaya. Namun, globalisasi dan perkembangan zaman menambah lapisan tantangan bagi masyarakat Bali dalam mempertahankan identitas kultural mereka. Masyarakat yang semakin terbuka terhadap pengaruh luar sering merasa terjepit antara tradisi yang telah mengakar kuat dan tuntutan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Dinamika Antara Tradisi dan Modernisasi

Perkembangan modernisasi dan globalisasi di Bali mempengaruhi banyak aspek kehidupan sosial, termasuk pelaksanaan tradisi seperti Terteran. seiring dengan kemajuan teknologi, media sosial, dan pertumbuhan ekonomi, masyarakat Bali dihadapkan pada pilihan yang sulit: menjaga tradisi atau mengikuti tren global yang semakin dominan.

Beberapa kalangan melihat modernisasi sebagai nilai positif, yang membawa kemajuan dalam pendidikan, akses terhadap teknologi, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi sebagian masyarakat Bali, modernisasi ini berpotensi mengikis nilai-nilai tradisional yang telah dipertahankan selama berabad-abad. Dalam konteks multikulturalisme, perubahan sosial ini berisiko memperburuk ketegangan antara kelompok yang lebih konservatif yang ingin mempertahankan tradisi, dan kelompok yang lebih terbuka terhadap perubahan.

Smith (2020) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa meskipun Bali dikenal sebagai tempat yang dalmai dan terbuka, perbedaan pandangan mengenai modernisasi sering kali menambah kompleksitas dalam hubungan sosial antar kelompok. Di satu sisi, tradisi Terteran tetap menjadi simbol penting, tetapi di sisi lain, perubahan dalam gaya hidup masyarakat Bali mengarah pada munculnya ketegangan sosial.

Kasus Ketegangan dan Harmoni di Bali

Contoh konkret dari ketegangan sosial yang muncul akibat dinamika ini dapat dilihat pada perbedaan pemahaman anatar generasi di Bali. Generasi muda, yang terpapar oleh arus globalisasi, cenderung lebih memilih gaya hidup modern dan kurang terlibat dalam upacara keagamaan yang dianggap bagian dari tradisi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Bali yang lebih tua mengenai hilangnya makna spiritual dalam tradisi seperti Terteran. Ketegangan ini semakin meningkat dengan hadirnya wisatawan asing yang seringkali tidak paham dengan konteks sakral dalam tradisi Bali.

Namun, di sisi lain, Bali juga menunjukkan banyak contohharmonisasi antara tradisi dan modernisasi. Beberapa pelaku seni dan budaya Bali berhasil menggabungkan elemen-elemen tradisional dengan modern dalam karya mereka, seperti dalam pertunjukan tari, musik, dan seni rupa yang memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan budaya Bali. Inisiatif ini menunjukan bahwa tradisi Terteran bisa beradaptasi dengan Zaman tanpa mengorbankan esensi budaya dan soiritualitasnya.

Penyelesaian Masalah dan Peran Awig-Awig

Untuk menjaga harmoni dalam dinamika ini, masyarakat Bali juga memiliki awig-awig (aturan adat) yang mengatur berbagai aspek  kehidupan sosial, termasuk pelaksanaan tradisi Terteran. Awig-awig berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menjaga keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Aturan-aturan ini tidak hanya mengatur upacara keagamaan, tetapi juga mengatur hubungan antarwarga dalam konteks sosial dan budaya.

Misalnya, dalam tradisi Terteran, Awig-awig mengatur tata cara pelaksanaan ritual, penggunaan ruang sakral, dan penghormatan terhadap leluhur. Pelanggaran terhadap awig-awig, seperti mengabaikan ritual atau tidak menghormati tempat-tempat sakral, bisa menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan merusak keharmonisan antarwarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun