Langgengnya stigma yang mengitari kelompok LGBT dan ODHA/ODHIV ini sebenarnya juga didorong oleh narasi diskriminatif yang acap kali diungkapkan orang-orang berpengaruh di masyarakat.Â
Himbauan untuk waspada terhadap perilaku LGBT yang dianggap sebagai penyimpangan seksual dan berisiko tinggi dalam penyebaran HIV/AIDS pun masih sering dijumpai di media sosial. Salah satunya pada unggahan akun Twitter @DrEvaChaniago yang memiliki 68,8 ribu pengikut.Â
Dalam tweet tersebut, Dr. Eva Sri Diana Chaniago menyatakan bahwa 90 persen pasiennya yang mengidap TBC dan HIV merupakan penyuka sesama jenis, bahkan menyebutkan "kek nya berhasil program Pelangi merusak generasi muda bangsa ini".
Tidak hanya itu, Laporan Human Rights Watch (HRW) tahun 2019 juga menyatakan persekusi aparat seperti aksi penggerebekan membuat kelompok LGBT kesulitan mengakses hak-haknya atas pelayanan kesehatan, terutama pada pencegahan dan penanggulangan HIV.Â
Stigma dan diskriminasi yang hebat dari masyarakat dan golongan tertentu menyebabkan kelompok LGBT enggan membuka statusnya sebagai pengidap HIV/AIDS dan mengakses pengobatan yang semestinya.
Bagaimana tidak, ketakutan mereka akan penolakan masyarakat terkait orientasi seksual mereka yang telah dicap menyimpang kini diperparah dengan kekhawatiran akan penyakit mereka yang dianggap mematikan.Â
Hal ini yang menjadi alasan terhambatnya penanganan HIV pada kelompok LGBT sehingga dapat mengakibatkan meluasnya penyebaran HIV, baik di dalam kelompok maupun pada masyarakat luas.
Edukasi Perlu DigencarkanÂ
Polemik HIV/AIDS di Indonesia memang kerap disangkutpautkan dengan moralitas. Masalah yang seharusnya ditangani dengan sudut pandang kesehatan ini justru disikapi dengan moral yang berlaku di masyarakat. Alhasil, sebagian besar masyarakat yang masih terjebak dalam kepercayaan jadul yang menganggap bahwa ODHA/ODHIV merupakan sosok yang berdosa dan jauh dari Tuhan.Â
Pada dasarnya, stigma yang berkembang di masyarakat merupakan buah dari ketidakpahaman dan keacuhan masyarakat untuk mencari tahu lebih dalam terkait penyakit ini.Â
Wawasan yang terbatas menyebabkan cara pandang masyarakat mudah terhasut oleh informasi yang simpang siur. Kepercayaan yang melekat bahwa HIV hanya menyerang kelompok tertentu berakibat pada lalainya masyarakat akan kegiatan dan perilaku yang berisiko menjadi sarana penularan virus ini seperti kegiatan seks yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, dan sebagainya.