diskriminasi masyarakat masih saja menghantui ketenangan hidup para penyandang positif HIV/AIDS.Â
Meskipun telah diperjuangkan selama bertahun-tahun, rupanya stigma danBerbagai label negatif, pelecehan verbal, maupun perlakuan sewenang-wenang tak jarang menyasar kelompok dengan risiko tinggi terhadap infeksi penyakit ini, salah satunya kelompok LGBT. Bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, kelompok LGBT yang juga berstatus sebagai penyintas HIV/AIDS harus menghadapi pahitnya diskriminasi ganda (double discriminations) yang kian membebani kondisi psikologis mereka.
Tidak dapat dipungkiri, generalisasi HIV/AIDS sebagai virus yang datang dan disebarkan dari kelompok homoseksual masih sangat sering kita dengar. Salah kaprah yang terus berkembang ini pun kerap menumbuhkan pemikiran bahwa kelompok minoritas ini pantas tertular HIV/AIDS akibat pilihan dan perbuatannya sendiri. Â
Beberapa waktu lalu, seorang pengguna media sosial Twitter membagikan pandangannya terkait dugaan diskriminasi yang dilakukan tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit karena membungkus kasur pasien pengidap HIV dengan plastik sesaat sebelum tindak pembedahan. Unggahan yang mengundang pro kontra itu pun cukup ramai diperbincangkan.Â
Namun alih-alih fokus pada pembahasan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sesuai, tak sedikit warganet yang malah mengolok-olok dugaan orientasi seksual pemilik akun yang sama sekali tidak berhubungan dengan konteks permasalahan.
Kasus ini sejatinya telah menunjukkan rendahnya toleransi masyarakat yang cenderung tidak siap menerima keberadaan kelompok LGBT di lingkungan sosial. Bahkan, praktik homofobia atau ketakutan, prasangka, dan kebencian tak beralasan terhadap individu homoseksual tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, tetapi juga lembaga keagamaan, pemerintahan, dan instansi kesehatan.
Bukan tanpa sebab, menurut Laporan Nasional Indonesia Tahun 2013 yang didukung oleh UNDP dan USAID berjudul "Hidup Sebagai LGBT di Asia", wacana media massa tentang HIV/AIDS yang terus dikaitkan dengan kelompok homoseksual dan waria nyatanya telah meningkat sejak awal dasawarsa 1990-an. Hal ini setidaknya mendorong informasi tentang dua hal tersebut selalu diasosiasikan bersama dengan penyakit menular seksual (PMS) sehingga menguatkan stigma yang ada.
Selama tahun 2016 hingga 2019, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mencatat, terdapat 644 kasus stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan ODHIV. Meskipun terdapat penurunan jumlah kasus di setiap tahunnya, hal ini tidak dapat menutup kemungkinan bahwa diskriminasi terhadap orang  dengan HIV/AIDS (ODHA/ODHIV) telah dapat dikendalikan.
HIV Tidak Hanya Mengintai Homoseksual
Hubungan seksual yang tidak aman sebagai perilaku yang berisiko tinggi dalam menularkan HIV, sayangnya sering kali disalah-hubungkan dengan identitas gender dan orientasi seksual individu. Kesalahan ini pun menutup mata masyarakat bahwa potensi tertular HIV juga mengintai kelompok heteroseksual dan menyebabkan ketidaksadaran yang membahayakan.
Faktanya, berdasarkan data terbaru Kemenkes RI hingga Juni 2022, penularan pada kelompok heteroseksual masih mendominasi infeksi HIV/AIDS di Indonesia, yakni sekitar 28,1 persen dari keseluruhan kasus. Sementara itu, 18,7 persen kasus tersebut dialami oleh kelompok homoseksual. Sebelumnya, pada Laporan Kemenkes RI Tahun 2017 juga dinyatakan bahwa ODHA berorientasi homoseksual tidak memiliki perbedaan jumlah yang signifikan dengan ODHA heteroseksual. Hal ini membuktikan potensi infeksi HIV bukan hanya masalah kelompok LGBT.