Mohon tunggu...
Dinda Ayu Palupi Ramadhani
Dinda Ayu Palupi Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Depan Perempuan Indonesia

19 Juli 2022   10:17 Diperbarui: 19 Juli 2022   10:54 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebuah studi tentang perempuan dalam sejarah Indonesia merupakan sebuah studi yang sangat jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan sebuah sejarah dengantopik lainnya. Menurut Purwanto (2006, h. 23) bahwa studi historis mengenai perempuan cenderung lebih diabaikan sebagai bagian dari sebuah proses sejarah. 

Tidak mengherankan jika penulisan sejarah gerakan perempuan menjadi tidak maksimal dan jauh tertinggal dari perkembangan historiografi di Indonesia. Tidak maksimalnya studi tentang sejarah gerakan perempuan di Indonesia disebabkan karena kategorisasi perempuan sebagai warga kelas dua.

 Perempuan dianggap tidak rasional dan tidak layak untuk berpikir. Selain itu perempuan juga selalu ditempatkan dalam posisi sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya. Gayatri Spivak dalam Ania (2003, h. 301) juga menyebut perempuan sebagai subjek "subaltern" yang tertindas, tertekan, dan inferior. 

Sementara itu untuk Spivak dalam Morton bahwa ia meragukan "suara" perempuan dapat didengar untuk melawan dominasi sistem patriarkal. Perempuan selalu menjadi objek dalam ruang lingkup budaya patriarki serta diposisikan sebagai manusia kelas kedua yang "ditakdirkan" untuk diam. Menurut (Hermawati, 2007, h. 20) sistem berpikir masyarakat Jawa yang menganggap perempuan sebagai kanca wingking. 

Kanca wingking artinya "teman belakang" yaitu perempuan dijadikan sebagai teman hidup kaum laki-laki dan hanya berperan dalam urusan domestik atau yang lebih populer dengan istilah macak, masak, manak.

Indonesia memiliki banyak pahlawan perempuan yang berperan besar dalam membangun peradaban bangsa, salah satunya adalah Raden Ajeng Kartini (R.A. Kartini) dengan pemikirannya tentang emansipasi. R.A. Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional Indonesia. 

Emansipasi yang diperjuangan oleh Kartini yaitu usaha melepaskan diri dari kekuasaan untuk selanjutnya mempunyai kebebasan dalam berpikir dan menentukan sikap, serta bebas dari segala bentuk belenggu, perbudakan, penguasaan atau berbagai pembatasan lainnya. 

Menurut (Rini, 1997, h. 4). popularitas yang dimiliki Kartini tidak membuat nilai juang yang tersirat dalam surat-suratnya lekang dikenang oleh masyarakat. Pemikiran Kartini tentang emansipasi saat ini hanya dilihat sebagai sebuah trend akibat pengaruh kondisi hidup kekinian yang serba praktis. 

Selain itu juga menurut Mustikawati (2015, h. 68) menambahkan bahwa kurangnya pemahaman masyarakat terhadap emansipasi juga disebabkan oleh nilai hidup yang sudah berbeda dengan pada masa kehidupan Kartini.

Kondisi dan eksistensi perempuan pada masa sebelum kemerdekaan mengalami nasib buruk seperti perempuan dilarang untuk sekolah, dilarang keluar rumah tetapi harus mengurus pekerjaan rumah. 

Dengan demikian sebuah hak perempuan menjadi terpinggirkan. Hak perempuan tersebut terkurung dalam sebuah budaya patriarki. Kondisi yang seperti ini mengakibatkan perempuan mengalami sebuah  alienasi dari kehidupan masyarakat. 

Di sana perempuan telah menjadi objek yang mudah ditindas dan dipreteli dengan kepentingan sepihak. Emansipasi menjadi titik pijak sekaligus nilai mendasar yang menopang keberadaan perempuan dalam masyarakat. 

Soemandari (1979, h. 265) menyebutkan bahwa kepercayaan Kartini dalam beragama adalah sinkretisme. Kartini selalu kembali kepada akar-akar ilmu Jawa atau yang disebut ngelmu kejawen dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tentang masyarakat yang dialaminya pada saat itu. 

Sejarah ketidakadilan yang dialami perempuan di Indonesia menurut Mandal (2013, h. 18) tidak mengenal batas budaya, ras, wilayah, maupun agama. Perempuan keturunan ningrat dibatasi karena adanya status "ndoro putri" sehingga tidak boleh keluar dari rumah dan tidak boleh bergaul dengan rakyat jelata.

Kondisi budaya dan sistem masyarakat feodal yang terlalu sempit mengakibatkan hak perempuan mudah dipolitisasi dengan sistem dan budaya masyarakat. Arus politik pada masa sebelum kemerdekaan sangat didominasi oleh kehadiran laki-laki sementara perempuan sangat mustahil diakomodir dalam lanskap politik. 

Bahkan yang paling buruk, masyarakat utamanya laki-laki hendak menyingkirkan pengaruh perempuan dalam gelanggang politik yang mengakibatkan ruang politik tidak pernah diisi dengan kehadiran perempuan. 

Mindset yang dibangun menempatkan perempuan sebagai objek dari arus politik yang dangkal dan menyesatkan. Disana kita memahami kebijakan dan seluruh hasil politik sangat mungkin memberikan kedudukan bagi perempuan.

Kartini melawan semua bentuk penindasan terhadap perempuan. Baginya perempuan harus diberikan tempat seturut dengan hak mereka dalam tatanan masyarakat. 

Langkah ini memang tidak mudah untuk dilakukan, tetapi Kartini mampu menghadirkan sebuah cara pandang dalam masyarakat feodalistik yang masih terkungkung dengan budaya patriarki agar menempatkan harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki. Emansipasi menjadi titik pijak sekaligus nilai mendasar yang menopang keberadaan perempuan dalam masyarakat. 

Arus politik harus menyediakan ruang yang sama bagi perempuan untuk mendeklarasikan diri sekaligus menyuarakan kepentingan sebagai manusia yang memiliki hak dan eksistensi.

Menurut Celarent (2016) perjuangan "pembebasan diri" Kartini mendapat dukungan penuh dari sahabatnya Stella di Belanda. Stella memberikan Kartini pengetahuan tentang gerakan kesetaraan gender yang ramai di perjuangan di dunia Barat. Sisi nasionalis Kartini terlihat melalui kecintaannya pada budaya bangsa, dan cita-cita tingginya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. 

Setelah itu muncul buku Emansipasiberisi kumpulan surat Kartini kepada teman-temannya di Belanda, dalam suratnya Kartini menuliskan harapan dan cita-citanya untuk "memerdekakan" kaum perempuan di Indonesia. Surat- Kartini juga menceritakan kisah perjalanan hidupnya sebagai perempuan Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun