Abdoel Moeis merupakan sosok sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Sastrawan berdarah minang ini lahir di Sungai Pua, Bukittinggi, Sumatera Barat pada 3 Juli 1886. Abdoel Moeis menempuh pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang merupakan sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda.Â
Kisah cinta antara Abdoel Moeis dan seorang gadis Belanda terpaksa berakhir karena perbedaan adat dan kebiasaan di antara mereka. Dari pengalaman pribadinya inilah, Abdoel Moeis kemudian menghasilkan sebuah karya besar berjudul Salah Asuhan.Â
Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928, setelah melalui berbagai tahap penyuntingan yang teliti. Novel Salah Asuhan pun dirilis dan menjadi salah satu karya besar karena mewakili pergulatan identitas dan budaya di tengah arus modernisasi yang terjadi di Indonesia kala itu.Â
Novel Salah Asuhan yang mengantarkan sosok Abdoel Moeis menjadi salah satu sastrawan terkemuka di tanah air. Novel ini menceritakan seorang pemuda pribumi berpendidikan Belanda dengan seorang gadis keturunan Eurasia (Eropa-Asia).Â
Seorang pemuda bernama Hanafi, asli Melayu dan berasal dari Solok, Sumatera Barat. Ia dibesarkan tanpa ayah sejak kecil. Ia tinggal bersama ibunya, Mariam yang berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika Hanafi mulai beranjak besar, ibunya mengirimnya ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) dan membiayai pendidikan anaknya seorang diri.Â
Selama menempuh pendidikan di HBS, Hanafi tinggal bersama keluarga Belanda yang membuatnya terbiasa bergaul dan mengikuti budaya Barat. Setelah lulus, ia bekerja di kantor pemerintah Belanda sehingga memperkuat ketertarikannya pada budaya Eropa dan keinginannya untuk meninggalkan identitasnya sebagai orang Timur atau pribumi.Â
Saat menempuh pendidikan di HBS, Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee yang merupakan seorang gadis berdarah campuran Eropa dan Asia yang juga tinggal di Solok. Ayah Corrie, Tuan du Bussee merupakan seorang mantan arsitek Prancis yang hidup tertutup setelah kehilangan istrinya, namun tetap memperlakukan tamu dengan hormat.Â
Kedekatan Hanafi dan Corrie semakin kuat setelah mereka kembali ke Solok dan mereka sering menghabiskan waktu bersama. Persahabatan ini perlahan berubah menjadi cinta di hati Hanafi. Ia yang terpesona pada kecantikan, kecerdasan, dan darah Eropa Corrie yang merupakan sosok ideal dalam pandangannya. Meski Hanafi sering berkunjung ke rumah Corrie, ayahnya menolak keras hubungan mereka karena khawatir Corrie akan dipandang rendah jika berhubungan dengan seorang pribumi.Â
Hanafi akhirnya memberanikan diri menyatakan cintanya kepada Corrie, tetapi ia marah karena merasa tindakan Hanafi kurang sopan. Corrie pun pergi dari Solok untuk melanjutkan pendidikannya di Betawi dan hanya meninggalkan sepucuk surat perpisahan untuk Hanafi.Â
Kehilangan Corrie membuat Hanafi jatuh sakit beberapa minggu. Mariam sebagai ibunya mengkhawatirkan kesehatan anaknya. Ia berencana menjodohkan Hanafi dengan Rapiah yang merupakan gadis Solok yang sederhana. Setelah diyakinkan oleh ibunya, Hanafi menerima Rapiah sebagai istrinya dengan syarat beberapa tradisi adat Minangkabau tidak diterapkan dalam pernikahan mereka.Â
Pernikahan Hanafi dan Rapiah berlangsung dua tahun dan melahirkan seorang putra bernama Syafei. Namun, Hanafi seringkali bersikap keras dan emosional terhadap ibunya dan menyalahkannya atas pernikahannya dengan Rapiah. Ia juga memperlakukan Rapiah dengan kekerasan, menghina, merendahkan, dan terus-menerus membandingkannya dengan Corrie.Â