Mohon tunggu...
Dinda Ratih
Dinda Ratih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai berbagai hal pembicaraan terutama tentang permasalahan hak manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Pahlawan di Wilayah 3T, Memberdayakan Generasi Z dengan Pendidikan

20 Juni 2024   13:22 Diperbarui: 20 Juni 2024   13:45 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) di Indonesia telah lama menjadi fokus perhatian dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik. Salah satu sektor yang terus mengalami tantangan adalah pendidikan, dimana penyebaran guru menjadi perbincangan hangat. 

Mereka memiliki tekad yang kuat untuk memperjuangkan pendidikan bagi generasi Z di wilayah tersebut. Wilayah 3T sering kali menghadapi tantangan yang unik dalam hal pendidikan. Infrastruktur yang minim, akses terbatas terhadap teknologi, dan kurangnya sumber daya merupakan beberapa hambatan utama. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat potensi besar untuk menciptakan perubahan positif. Inilah tempat di mana peran guru menjadi sangat krusial. 

Guru di wilayah 3T bukan hanya pengajar, tetapi juga pahlawan yang menginspirasi dan memotivasi generasi Z. Mereka berperan sebagai agen perubahan sosial yang membawa harapan dan membuka jalan bagi kemajuan. Peran yang dimainkan guru sebagai pahlawan perubahan adalah menjadi mentor dan teladan. Sebagai seorang guru akan jadi panutan bagi murid-muridnya. Dengan sikap dan tindakan mereka, guru membimbing generasi Z untuk mengembangkan potensi terbaik mereka. Selain itu, peran guru juga dapat menjadi seorang motivator bagi muridnya. 

Banyak anak-anak di wilayah 3T yang berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Para guru ini dengan sabar memberikan motivasi dan semangat kepada mereka untuk tetap bersekolah dan meraih cita-cita. Dengan dedikasi dan semangat yang tinggi, mereka berusaha memberikan pendidikan yang terbaik meskipun dengan segala keterbatasan yang ada. Seorang guru di wilayah 3T seringkali harus mengajar di kelas yang jauh dari kata ideal.

Mereka harus menghadapi kondisi ruangan yang tidak memadai, jumlah siswa yang melebihi kapasitas, serta minimnya bahan ajar. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat mereka. Dengan kreativitas dan inovasi, para guru ini berusaha menciptakan metode pembelajaran yang menarik dan efektif bagi siswa-siswa mereka. 

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh dalam era digital yang penuh dengan perkembangan teknologi. Namun, bagi anak-anak di wilayah 3T, akses terhadap teknologi ini seringkali masih menjadi kemewahan. Oleh karena itu, para guru di wilayah 3T memiliki tugas penting untuk memberdayakan generasi Z dengan pendidikan yang adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang ada. 

Meskipun akses terhadap teknologi masih terbatas, para guru berusaha memaksimalkan penggunaan teknologi dalam proses belajar mengajar. Misalnya, dengan menggunakan perangkat sederhana seperti radio atau televisi untuk memberikan materi pelajaran, atau memanfaatkan gadget yang tersedia untuk mencari informasi tambahan. 

Selain itu, para guru juga berusaha mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif pada siswa-siswa mereka. Dalam kondisi yang serba terbatas, keterampilan ini menjadi sangat penting. Para siswa diajak untuk berpikir out of the box dan mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Hal ini diharapkan dapat membantu mereka untuk menjadi generasi yang tangguh dan adaptif di masa depan.

Salah satu kisah inspiratif guru yang berjuang di wilayah 3T adalah Bu Tarmin yang mengajar di SMPN 1 Kpudori, Kampung Puweri, Distrik Supiori Utara, Papua. Beliau sudah mengajar selama 15 tahun di daerah tersebut, dimana jarak tempuh dengan Kota Biak selama 3 jam melalui jalur darat. Bu Tarmin sendiri berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Beliau mengaku tidak menyangka bisa mengajar di SMP yang dahulu perjalanannya memakan waktu lima sampai enam jam dari pusat Kota Biak, Papua. 

Beliau mengisahkan, masyarakat di sana cukup baik menerimanya. Kendati isu saat itu mengatakan bahwa penduduk di sana tidak bisa menerima orang seperti beliau, karena beliau adalah seorang muslim. Namun, penduduk di sana malah menyambut hangat Bu Tarmin. "Kalau dengan penduduk di sana cukup ramah, cukup baik. Kalau dengan perkembangan sekolahnya itu didukung sama masyarakat setempat, sehingga kami sebagai pendatang sangat mendukung" (Liputan6.com, 2020).

Layaknya seorang guru SD, mengajar sekolah tingkat SMP di pelosok juga mesti mahir menguasai semua mata pelajaran. Kendati merupakan guru Bahasa Inggris, Tarmin terpaksa juga mengajar mata pelajaran lain lantaran terbatasnya jumlah tenaga pengajar. Beliau memaparkan dahulu merangkap jika mengajar karena guru yang sedikit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun