Misalnya guru SD yang mengajar PKN akan berkaitan mengajar mata pelajaran penjaskes dan prakarya (Liputan6.com, 2020). Beliau menambahkan bagaimana sulitnya hidup di wilayah pedalaman. Waktu pertama kali menginjakkan kaki di daerah tersebut, penerangan hanya bergantung pada listrik yang aktif beberapa kali dalam seminggu. Lebih banyak menggunakan pelita sebagai penerangan daripada menggunakan listrik.
Selain masalah listrik, Bu Tarmin juga menceritakan masalah lain yang di hadapi. Beliau pernah terkena penyakit tropis Papua, yaitu malaria. Saat itu tahun 2007, dan beliau mengidap malaria tropikal plus 4 yang dikenal sebagai malaria paling ganas. Bu Tarmin mengatakan penyakitnya tidak kunjung sembuh walaupun sudah dibawa turun ke Kota Biak. Akhirnya beliau dipulangkan ke Bima, dimana itu tempat tinggal asli Bu Tarmin. Beliau kembali sehat setelah setahun pulang di kampung halamannya (Liputan6.com, 2020).
Ada hal lain yang membuat Bu Tarmin ingin terus mengejar di Supiori. Semangatnya untuk membagikan ilmu begitu besar. Terlebih lagi kepada anak-anak di Papua yang fasilitas pendidikannya masih minim kala itu. "Saya yang paling utama membagikan ilmu ini, sampai sekarang pun saya harus membagikan ilmu tanpa dibayar pun mau saya. Saya jujur ilmu saya sedikit makanya saya harus belajar banyak" (Liputan6.com).Â
Bu Tarmin berkomitmen dengan dirinya bahwa apapun yang terjadi ia harus membagikan ilmu kepada anak-anak di sana. Dari komitmen itulah sampai saat ini ia masih dengan ikhlas mengabdi bagi pendidikan untuk anak-anak Papua. Bagi Bu Tarmin tak ada yang lebih mengharukan bagi dirinya di saat para anak didik bisa menjadi manusia-manusia yang berguna bagi sesama manusia maupun nusa dan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H