Tahukah anda? Sakit secara fisik yang anda rasakan tidak hanya dapat terjadi karena alasan konkret dari diagnosa penyakit tertentu, tetapi juga dapat disebabkan oleh sugesti maupun kondisi psikologis. Pada artikel ini, saya akan memperkenalkan kondisi ‘psikosomatis’ yang secara singkat merupakan gangguan kesehatan fisik yang terjadi akibat kondisi psikologis tertentu.Â
Terdapat berbagai penelitian yang mengatakan bahwa kondisi ini memiliki efek terhadap kualitas hidup seseorang.
Sejatinya kondisi mental maupun emosi sangat memiliki hubungan dengan keadaan fisik secara riil. Bahkan, menurut Ohrnbergera (2017), kesehatan mental (fisik) di masa lalu berdampak langsung atau tidak secara signifikan terhadap kesehatan fisik (mental) saat ini.Â
Zboralski dkk. (2008) menyampaikan bahwa permasalahan emosi yang dialami seseorang bisa berdampak pada kualitas hidup orang yang mengalami gangguan psikosomatis, lebih jelasnya kualitas lebih buruk daripada orang pada umumnya.Â
Secara definisi, gangguan psikosomatis adalah gangguan fisik yang kekambuhannya didukung oleh kondisi psikologis, misalnya karena stres atau tekanan emosional (Everly & Lating, 2002). Sedangkan, definisi dari Quality of Life (QoL) adalah penilaian seseorang terhadap posisinya dalam hidup berkaitan dengan konteks budaya dan sistem nilaiÂ
dimana mereka berada serta berhubungan dengan tujuan, harapan, standar serta fokus perhatian mereka. Kemudian diringkas menjadi 4 domain yaitu, fisik, psikologis, relasi sosial dan lingkungan (WHO, 1997). Â
Sorotan pada kasus ini, yaitu psikosomatis yang memiliki beberapa penyebab yang mungkin sering terjadi. Pada penelitiannya, Apriyani (2018) membeberkan penyebab psikosomatis pada subjek di Samarinda adalah faktor sosial, ekonomi, perkawinan/relasi romantis, keluarga, penggunaan zat-zat tertentu, dan faktor psikologis.Â
Selain pendapatnya, alasan lain yaitu kegagalan untuk mencapai standar yang diimpikan (Yeshua dkk., 2019). Dapat diketahui dari penelitian tersebut bahwa emosi negatif seperti kemarahan, kecemasan, kekecewaan, rasa tertekan untuk mencapai standard tertentu,Â
maupun sifat perfeksionis menyebabkan symptoms ini terjadi akibat terserangnya mekanisme kerja neurologis sehingga mengaktifkan sejumlah neural, neuroendocrine dan endocrine yang berlebihan dan menyerang organ terlemah individu.Â
Pikiran maupun emosi negatif tersebut menyebabkan penderitanya mengeluhkan beberapa rasa sakit secara fisik terepetisi seperti maag, sakit kepala, migrain, tekanan darah tinggi, maupun gatal pada kulit. Penelitian yang dilakukan oleh Â
Ila Nurlaila Hidayat dan Witrin Gamayanti (2020) membuktikan bahwa psikosomatik yang sering dialami mahasiswa berdasarkan data adalah gangguan maag, migraine, gangguan kulit dan pernafasan dalam hal ini adalah asma.Â
Lalu, apa kaitan gejala psikosomatis tersebut dengan kualitas hidup seseorang? Menurut Psikologi Evolusioner, individu memiliki dorongan untuk menjalin relasi dengan orang lain guna bertahan hidup, mengembangkan perasaan dekat dan terhubung dengan untuk menciptakan hubungan yang bermakna untuk terhubung secara emosional dan rasa diterima
 dalam suatu kelompok inilah yang disebut keterhubungan sosial. Sayangnya, pada seseorang yang terindikasi psikosomatis yang khususnya disebabkan oleh SPP (socially-prescribed perfectionism)Â
saat pencapaiannya tidak sesuai dengan ekspektasi orang lain, ia akan memperlihatkan agresivitas, kurangnya altruisme, manipulasi dalam hubungan, dan menghindari keintiman/kedekatan (Stoeber dkk., 2017).Â
Rasa tekanan menjadi perfeksionis tersebut juga dijelaskan pada beberapa literatur yaitu terdapat korelasi skor perfeksionisme yang tinggi terhadap rendahnya skor keterhubungan sosial (Amodeo, 2014).Â
Penelitian yang dilakukan Elvira Linda dan Nurul Hartini (2021), pun membuktikan bahwa variabel keterhubungan sosial memiliki pengaruh dalam nilai 20-25% berarti mediator parsial.Â
Hasil data yang didapat menunjukkan bahwa socially-prescribed perfectionism merupakan nilai yang jelas berpengaruh terhadap kemunculan gejala psikosomatis, disusul oleh self-oriented perfectionism dan other-oriented perfectionism dengan selisih yang sangat kecilÂ
Kondisi psikosomatis ini secara gamblang menunjukan nilai minusnya dalam Quality of Life seseorang. Hal ini dinilai dari aspek perasaan kurang puas akan pencapaian, bereaksi marah atau sensitif setelah mendapat kritik, serta secara sosial relasi dengan banyak pihak terganggu dalam jangka panjang.
Emosi negatif tersebut, setidaknya dapat diminimalisasi dengan rasa syukur yang  merupakan bentuk kebahagiaan yang muncul kala dalam keadaan cukup maupun rasa berterima kasih. Kebiasaan berperilaku dalam emosi yang positif tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang.Â
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa perasaan terima kasih, senang, takjub, dan penghargaan terhadap hidup sebagai respon atas sesuatu yang diperoleh baik berupa benda ataupun momen bahagia yang diekspresikan kepada Tuhan, manusia, makhluk lain, dan alam semesta dan menurut orang yang banyak bersyukur akan meningkat kebahagiaannya, well-being dan berkurangnya keluhan/ sakit fisik (Snyder & Lopez, 2002).Â
Kesimpulan dari artikel ini yaitu bahwa variabel emosi negatif dan emosi positif memiliki korelasi yang jelas dengan kualitas hidup seseorang pengidap psikosomatis. Â Jika dikomparasi, dapat diketahui perbedaan seseorang yang selalu dalam emosi positif (bersyukur, senang,dsb) memiliki kualitas hidup yang baik sehingga stress pemicu psikosomatik dapat diatasi secara bertahap.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H