Mohon tunggu...
Dinda Nur Cahyani
Dinda Nur Cahyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Selamat membaca pikiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Book

Too Good to Be True: Karakter Cello pada Novel Hello, Cello

27 Juni 2022   13:35 Diperbarui: 27 Juni 2022   13:44 4339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Novel populer semakin hari semakin mendominasi dunia kepenulisan. Kini mayoritas pembaca lebih menjadikan karya sastra khususnya novel sebagai hiburan semata. Hal tersebut sejalan dengan novel populer yang bertujuan untuk menghibur para pembaca, berbeda dengan novel serius yang selalu membuat otak ikut bekerja ketika sedang membaca. 

Tak hanya tujuan, novel serius dan novel populer juga memiliki perbedaan lainnya mulai dari segi bahasa, tema, teknik penceritaan hingga kemasan yang berbeda. Namun, menurut saya ada satu hal lagi yang menjadi pembeda novel serius dan novel populer yakni karakter yang ada di dalamnya. Saya menyadari ada perbedaan pembentukan karakter khususnya karakter laki-laki pada kedua jenis novel tersebut.

Berbanding terbalik dengan dahulu---yang mayoritas penulis adalah seorang laki-laki. Menurut saya, kini penulis perempuanlah yang secara perlahan mendominasi dunia kepenulisan. Tak heran mengapa hal ini terjadi karena seperti yang kita ketahui sudah banyak sekali perubahan pandangan masyarakat mengenai wanita. 

Wanita kini sudah terbebas dari bayang-bayang pandangan masyarakat terhadap mereka. Berbicara mengenai pandangan masyarakat, hal ini sebenarnya terjadi tak hanya pada perempuan tetapi juga laki-laki. Namun, memang pada kenyataannya perempuanlah yang banyak terbebani dengan pandangan-pandangan tersebut. 

Hal tersebut banyak tergambar pada karya sastra---mengenai bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki yang semestinya. Hingga dapat saya simpulkan pembentukan karakter yang ada di dalam novel serius ialah karakter yang sudah tertanam di dalam masyarakat pada saat itu, meski perlahan banyak sastrawan yang mendobrak pandangan-pandangan tersebut. 

Hal ini juga didukung dengan pernyataan Teeuw yang mengatakan bahwa "Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya" yang membuat saya semakin yakin bahwa karakter-karakter pada novel tersebut mengikuti bentukan atau dapat dikatakan sebagai cerminan karakter orang-orang pada saat itu.

Jika pernah mendengar ungkapan "Men Written by Women" mungkin hal tersebut menjadi salah satu alasan pembentukan karakter laki-laki pada novel populer. 

Menurut Urban Dictionary, ungkapan tersebut merujuk pada laki-laki yang memenuhi standar tinggi dan benar-benar sesuai dengan harapan perempuan atau orang banyak. Dalam hal ini dapat saya katakan laki-laki tersebut merupakan laki-laki "sempurna" untuk dan bagi para wanita dan bukti nyata ungkapan tersebut adalah karakter laki-laki yang dibentuk oleh penulis perempuan.

Fenomena ini ada pada banyak karya sastra yang saya temukan seperti pada novel Dikta dan Hukun karya Dhia'an Farah, novel Butterflies karya Alesacakes, novel Haga Ganteng & Printer karya Washashira, novel Himpunan karya Citra Saras, dan novel yang akan saya bahas yaitu Hello, Cello. karya Nadia Ristivani.

Karakter laki-laki utama pada novel ini bernama Marcello Este yang merupakan anak dari seorang mafia. Dengan latar belakang yang berbeda tak membuat Cello membatasi pertemanannya dan tak menjadikannya bersikap semena-mena kepada orang lain. 

Kekurangan Marcello adalah satu, ia digambarkan sebagai laki-laki yang suka mempermainkan wanita atau sering juga disebut "Playboy" dan hal tersebut menjadi salah satu hal yang membangun konflik dalam cerita ini. Namun,  setelah membaca Hello, Cello. menurut saya kekurangan Cello pada novel tersebut justru menjadi sebuah kelebihan pada akhirnya. 

Ada bagian dalam novel tersebut di mana Cello menceritakan tentang label "Playboy" yang ada pada dirinya kepada Helga. Label tersebut hanyalah pandangan orang-orang kepadanya karna ia senang berteman dengan banyak orang. Sifatnya yang terlalu "friendly" membuat banyak perempuan berharap menjalin hubungan yang lebih jauh dengannya. 

Bukan karena itu saja saya mengubah pandangan saya mengenai kekurangan Cello menjadi sebuah kelebihan tetapi juga karena penulis yang berhasil menggambarkan bagaimana perjuangan Cello untuk mendapatkan Helga---perempuan yang disukai, bagaimana Cello mencoba menghapus label buruknya dari pandangan Helga, dan bagaimana Cello benar-benar serius untuk membantu Helga keluar dan melawan rasa takutnya terhadap sebuah hubungan.

 Tiap pembaca memiliki definisi "sempurna" yang berbeda-beda untuk karakter fiksinya. Menurut saya, karakter Cello pada novel ini menjorok ke arah "sempurna" untuk seorang laki-laki. Mulai dari latar belakang Cello yang merupakan anak seorang mafia saja sudah membuat saya bertanya-tanya, Apakah benar-benar ada laki-laki seperti Marcello---anak seorang mafia yang mau berteman dengan siapa saja dengan mudahnya?

 Lalu setelah membaca kembali muncul pertanyaan lain di dalam kepala saya, Apakah ada laki-laki seperti Marcello yang mau membantu seseorang keluar dari ketakutannya terhadap sebuah hubungan? Apakah ada laki-laki seperti Marcello yang menghargai juga mencintai seseorang sebagaimana Cello menghargai dan mencintai Helga? Bagaimana penulis mengubah kekurangan Cello menjadi sebuah kelebihan pada akhir cerita semakin membuat karakter laki-laki pada novel ini dekat dengan kata "sempurna".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun