Aku hampir tidak mengetahui bagaimana bentuk dunia yang ada di luar sana, yang aku tahu hanya ruangan gelap ini. Sempit, sunyi, lembab, dan menakutkan. Tapi siapa yang peduli dengan ini? Semua orang menganggap diriku adalah manusia paling menjijikan. Aku adalah bentuk dari seburuk-buruknya anak yang dilahirkan ke dunia ini, namun siapa memangnya yang minta untuk dilahirkan? Aku tidak pernah meminta hal itu.
"Castor." Ibu mengetuk dinding itu, hanya untuk memastikan bahwa aku menjawab dan masih hidup.
Di waktu-waktu menjelang gelap ini, ibu akan membuka pintu yang terbuat dari kayu itu dan masuk untuk memberiku makanan. Jika saja ibu tahu bahwa aku sama sekali tidak membutuhkan makanan, aku hanya ingin bebas dari ruangan menyesakkan ini.
"Habiskan makanan ini, jangan biarkan ia tersisa sedikit pun."
Ibu terlihat sibuk merapikan barang-barang yang berserakkan di bawah sana setelah meletakkan makanan yang ia bawa di atas nakas, sedangkan aku terdiam tidak menggubris ucapannya.
"Kau masih diam?" ibu melirik dengan mimik wajah marah. "Ibu tidak memintamu melakukan apapun, tapi makan saja kau tidak mau?"
Suara melengking itu berhasil membuatku bangkit. Aku tertatih mendekati nakas dan mengambil makanan yang ibu letakkan di atas sana. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelahnya, aku menikmati makanan itu dengan sunyi yang berkepanjangan. Mungkin ibu sudah lelah untuk sedekar mengeluarkan sepatah kata.
"Ibu..." suaraku parau, "kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
Aku hanya lelah hidup di dalam ruangan yang menyesakkan ini. Terkadang aku ingin tahu bagaimana rasanya berkeliaran di luar sana, bagaimana pemandangan yang disebut indah oleh orang-orang itu? tidak bisakah aku menikmati semuanya walau sedikitpun?
Barang-barang yang ibu pegang terjatuh begitu saja, ia bergetar menatapku. Entah apa yang tengah ia pikirkan saat ini.
"Aku adalah aib, tapi membunuhku akan menjadi aib lainnya, maka ibu tidak memiliki pilihan selain membiarkanku hidup seperti ini."
Ibu masih belum bersuara.
"Jika ibu tidak bisa memberikan kebebasan dunia untukku, biarkan aku pergi pada kebebasan sesungguhnya. Berikan aku kesempatan untuk meninggalkan semua hal yang menyesakkan ini, jangan datang lagi untuk memberiku makan dan kunci rapat-rapat pintu itu."
Makanan yang ada di hadapanku masih tersisa banyak, aku tidak memiliki nafsu makan sama sekali. Lantas setelah mengembalikan wadah yang berisi makanan di atas nakas, aku berbaring membelakangi ibu. Tak lama setelahnya, suara langkah kaki itu terdengar menjauh dan disambut dengan denyit pintu yang ditutup rapat.
Kini tidak ada lagi makanan yang ibu antarkan di setiap sore yang temaram, tidak ada lagi suara denyit pintu yang terdengar, tidak ada apa-apa. Aku sendirian menghabiskan hari yang begitu sunyi. Tanganku kembali menggores tembok dengan kayu. Sudah ada lima garis yang kucoretkan di sana, pertanda bahwa sudah lima hari sejak pintu itu benar-benar dikunci, tapi aku masih hidup.
"Kapan aku akan mati?"
Kalimat itu terhenti begitu saja ketika tembok yang ada di hadapanku tiba-tiba saja berlubang. Mungkin lubangnya hanya sebesar biji kedelai, tapi dengan lubang itu aku dapat melihat secercah cahaya di sana. Kemudian di detik berikutnya sebuah besi tertancap kembali di tembok dan membuat lubang tersebut sedikit lebih membesar.
Dari celah itu, sebuah kertas kecil masuk begitu saja. Aku mengambilnya dan membaca apa yang seseorang tuliskan di atas kertas itu.
 Jangan mati sebelum kau melihat bagaimana indahnya dunia iniÂ
Dahiku mengernyit. Begitu mataku mengintip dari balik lubang itu, seorang gadis berambut pirang berdiri di sana. Ia mengulum senyum manis, matanya berkilau cantik.
"Hai." Begitu sapanya, "mau berbincang?"
Dan mulai saat ini, aku memiliki tujuan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H