Ibu masih belum bersuara.
"Jika ibu tidak bisa memberikan kebebasan dunia untukku, biarkan aku pergi pada kebebasan sesungguhnya. Berikan aku kesempatan untuk meninggalkan semua hal yang menyesakkan ini, jangan datang lagi untuk memberiku makan dan kunci rapat-rapat pintu itu."
Makanan yang ada di hadapanku masih tersisa banyak, aku tidak memiliki nafsu makan sama sekali. Lantas setelah mengembalikan wadah yang berisi makanan di atas nakas, aku berbaring membelakangi ibu. Tak lama setelahnya, suara langkah kaki itu terdengar menjauh dan disambut dengan denyit pintu yang ditutup rapat.
Kini tidak ada lagi makanan yang ibu antarkan di setiap sore yang temaram, tidak ada lagi suara denyit pintu yang terdengar, tidak ada apa-apa. Aku sendirian menghabiskan hari yang begitu sunyi. Tanganku kembali menggores tembok dengan kayu. Sudah ada lima garis yang kucoretkan di sana, pertanda bahwa sudah lima hari sejak pintu itu benar-benar dikunci, tapi aku masih hidup.
"Kapan aku akan mati?"
Kalimat itu terhenti begitu saja ketika tembok yang ada di hadapanku tiba-tiba saja berlubang. Mungkin lubangnya hanya sebesar biji kedelai, tapi dengan lubang itu aku dapat melihat secercah cahaya di sana. Kemudian di detik berikutnya sebuah besi tertancap kembali di tembok dan membuat lubang tersebut sedikit lebih membesar.
Dari celah itu, sebuah kertas kecil masuk begitu saja. Aku mengambilnya dan membaca apa yang seseorang tuliskan di atas kertas itu.
 Jangan mati sebelum kau melihat bagaimana indahnya dunia iniÂ
Dahiku mengernyit. Begitu mataku mengintip dari balik lubang itu, seorang gadis berambut pirang berdiri di sana. Ia mengulum senyum manis, matanya berkilau cantik.
"Hai." Begitu sapanya, "mau berbincang?"
Dan mulai saat ini, aku memiliki tujuan hidup.