Mohon tunggu...
Dindaaa Bungaa
Dindaaa Bungaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menggali Makna di Balik Pengalaman

10 Agustus 2024   11:06 Diperbarui: 10 Agustus 2024   11:35 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pengalaman pendidikan saya sebelum menempuh studi di Sekolah Tinggi Agama Islam Sadra. Pada tahun 2019 kemarin, saya memutuskan untuk patuh dengan pilihan yang orang tua ambil, yaitu melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren di Condet, Jakarta Timur. Hal ini tentu membuat batin saya tertekan luar biasa, pasalnya saya telah berniat melanjutkan sekolah di sebuah sekolah negeri dekat rumah bersama teman-teman. Pekerjaan saya selama empat bulan di pondok hanyalah menangis dan ingin pulang, hal ini menyebabkan kegiatan belajar saya terganggu dan saya tidak bisa fokus dalam hal apapun.

            Selain karena saya memang tidak ingin belajar di sana, pesantren itu memiliki peraturan yang ketat dan sistem belajar yang tidak menyenangkan. Setelah lulus dari sana saya baru menyadari bahwa sistem belajar yang tidak saya sukai itu sangat luar biasa. Walaupun latar belakang pendidikan saya adalah Madrasah Tsanawiyah, tapi itu tidak membuat saya betah dan tertarik dengan pesantren itu. 

Pada beberapa minggu pertama, saya sempat terkejut dengan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan, semua orang berkomunikasi dengan Bahasa Arab. Saya pernah belajar bahasa itu tapi hanya dasar-dasarnya. Jadi, saya harus mati-matian mempelajari Bahasa Arab agar bisa berkomunikasi dengan semua orang karena jika saya nekat berbahasa Indonesia maka hukuman sudah menanti saya di depan sana.

            Pesantren tempat saya menimba ilmu merupakan sebuah pondok tahfiz baru, kebetulan saya adalah angkatan ketiga pada saat itu. Target yang harus saya setorkan adalah satu halaman hafalan baru dan dua halaman murojaah. Semua santriwati akan menyetorkan hafalan sehabis salat subuh dilaksanakan, kami harus duduk mengantri kemudian maju setelah dapat giliran, orang-orang yang hafalannya lancar bisa pergi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sedangkan jika tidak kami akan disuruh mundur ke belakang dan kembali menghafal sampai hafalan kami dianggap lancar oleh ustadazah, tidak peduli dengan jam yang sudah menunjukkan waktu berangkat sekolah, tak jarang orang-orang itu telat masuk kelas karena harus mengulang hafalan. Lebih parahnya lagi jika hafalan kami tidak sampai pada target, kami akan dijemur di bawah sinar matahari tepat jam 12 saat pulang sekolah, bayangkan bagaimana panasnya Condet saat itu. 

Selama tiga tahun, syukurnya saya hanya merasakan tiga kali dijemur karena hafalan saya tidak sampai target harian walaupun rasanya malu karena ditonton banyak orang. Namun, hal-hal di atas melahirkan mental yang kuat pada diri-diri kami sehingga kami tidak mudah menyerah ketika dihadapkan dengan situasi yang sulit, sebaliknya kami berusaha lebih giat dan memperbaiki kesalahan yang ada pada masing-masing kami.

            Beberapa bulan setelahnya saya mulai terbiasa, tetapi hafalan dan belajar saya ternyata sedikit tertinggal karena dari awal saya tidak bersungguh-sungguh. Dengan begitu saya bertekad untuk mengejar ketertinggalan itu, saya mulai rajin menghafal juga fokus dalam belajar. Namun, hal itu tidak bertahan lama karena dengan terpaksa pondok pesantren harus memulangkan semua santri dan santriwatinya karena Virus Covid yang marak saat itu, dengan kebijakan yang diambil oleh semua petinggi pesantren maka kegiatan belajar dan mengajar dilakukan di rumah, hal ini sangat tidak kondusif dan membosankan.

Saya sangat ingat sekali ibu selalu mengambil foto saya saat sedang salat dan kelas online untuk dijadikan bukti kepada ustadzah di pondok. Pada masa Covid itu saya masih menjalankan tekad saya untuk mengejar ketertinggalan dan belajar di rumah dengan giat. Hal ini terus berlangsung selama kurang lebih setahun setengah. Akhirnya saya kembali lagi ke Condet untuk melanjutkan pembelajaran. 

Banyak hal yang berubah setelah kembalinya kami ke pondok dari bangunan hingga sistem yang dipakai. Tidak ada lagi dijemur ketika hafalan tidak sampai target, tidak ada lagi terlambat karena hafalan yang mengulang, semua menjadi lebih ringan. Tapi tidak dengan hafalan kami yang jadinya terbengkalai semenjak di rumah, dengan begitu fokus kami kemudian adalah sebelum menambah hafalan baru.

            Waktu terasa begitu cepat sampai akhirnya saya berada di fase akhir sekolah. Jangan anggap saya bisa bermalas-malasan karena nyatanya ada banyak sekali ujian akhir yang harus kami tuntaskan. Saya akui lingkungan pesantren itu mendukung kami untuk selalu belajar, hampir semua teman-teman saya membawa buku kemanapun mereka pergi, mereka belajar pada setiap waktu luang, dan menyempatkan diri untuk berdiskusi, hal ini tentu membuat siapapun yang malas tertarik untuk mengambil buku dan ikut belajar. Pada masa-masa ujian seperti itu malam hari akan terasa ramai karena orang-orang masih menggunakan waktunya untuk belajar sampai larut. 

Menurut saya proses belajar kami yang hampir mati-matian itu sebanding dengan ujian yang kami hadapi. Walaupun hanya terdiri dari dua ujian yaitu lisan dan tulis, kedua ujian ini nyaris membuat semua orang menangis karena memang terbilang sulit. Tidak ada satupun guru yang memberikan kisi-kisi, mau tidak mau kami harus mempelajari semua tema pembahasan yang telah diajarkan pada satu tahun itu. Saya yakin ada beberapa orang yang menulis jawaban asal-asalan di lembar jawaban mereka ketika mereka tidak memiliki pilihan lain, mereka tidak malu karena tahu hanya mereka, guru, dan Tuhan yang mengetahui jawaban asal itu. Berbeda dengan ujian tulis, ujian lisan sangat amat ditakuti oleh semua santri dan santriwati. 

Biasanya pada ujian ini santri dan santriwati akan dibagi pada beberapa kelompok yang terdiri kurang lebih 20 orang pada setiap kelompoknya. Ujian ini tidak hanya dihadiri oleh guru penguji dengan santri tapi juga ditonton oleh semua orang, maka jangan ditanya bagaimana kabar jantung kami yang hampir meledak saat itu. Kita tidak akan pernah tahu tema apa yang akan kita terima untuk dijelaskan nantinya, maka semua orang akan mempelajari semua tema yang dibahas dalam satu pelajaran itu. Ujian lisan sama sekali tidak bisa dijawab dengan asal-asalan karena resiko yang kami dapat akan banyak, yaitu nilai yang kecil juga reputasi buruk mengingat ada banyak sekali manusia yang menonton kita saat itu.

Setelah melewati masa yang menegangkan itu, saya kemudian lulus dengan peringkat akademik kedua. Tentu saja saya bersyukur karena diberi kesempatan yang luar biasa untuk melanjutkan pendidikan di jenjang Madrasah Ulya (setara MA) di pondok tersebut, ada banyak sekali pengalaman-pengalaman luar biasa yang tidak dapat saya ceritakan dengan rinci. 

Namun, intinya dari pondok pesantren yang awalnya tidak saya sukai ini saya mendapat begitu banyak pelajaran berarti yang mungkin tidak saya dapatkan di tempat lain. Walau pada awalnya saya sangat tidak ingin belajar di pesantren itu, saya sama sekali tidak pernah menyesal telah menghabiskan waktu tiga tahun di sana, bertemu dengan banyak orang dan mempelajari banyak hal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun