Mohon tunggu...
Adinda Desi Rahmawati
Adinda Desi Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 program studi ekonomi syariah UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Kebijakan Pajak Global terhadap Pertumbuhan Bisnis di Indonesia

21 November 2024   22:45 Diperbarui: 22 November 2024   12:40 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pelajaran.co.id/pengertian-pajak-menurut-para-ahli-lengkap-unsur-unsur-dan-hukum-pajak/

Dalam era digital yang semakin berkembang, praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional menjadi isu global yang mendesak. Menurut laporan terbaru dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), diperkirakan antara 4-10% dari pendapatan pajak global hilang setiap tahunnya akibat pengalihan laba ke negara-negara dengan tarif pajak rendah. 

Pada Sabtu, 18 November 2024 kemarin program studi akuntansi perpajakan Universitas Padjajaran mengadakan Taxfest 2024 dengan mengusung tema "The Role Of Tax Treaties On Global Bussiness: Reforming Global Tax Rulles to Combat Digital-Era Tax Avoidance". Di acara tersebut mendatangkan salah satu pemateri luar biasa beliau adalah Ibu Yurike Yuki yang merupakan Assistant Manager of DDTC Consulting yang menjelaskan mengenai dampak reformasi pajak global terutama bagi perusahaan multinasional.

Global Tax Reform

Upaya untuk mereformasi sistem perpajakan global guna menciptakan keadilan, transparansi, dan efisiensi dalam pengenaan pajak lintas negara. Reformasi ini bertujuan untuk menangani tantangan yang timbul dari globalisasi, digitalisasi ekonomi, dan praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Salah satu isu utama yang menjadi fokus Global Tax Reform adalah erosi basis pajak dan pengalihan keuntungan (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS, di mana perusahaan multinasional memanfaatkan celah hukum untuk mengalihkan laba ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau nol, meskipun aktivitas ekonomi utama mereka terjadi di negara-negara dengan tingkat pajak yang lebih tinggi. 

"Sebagai individu dampaknya tidak terlalu berasa, tapi bagi perusahaan multinasional Global Tax Reform ini bisa di bilang sebagai Game Changer  karena perubahannya sangat besar dan bersifat fundamental" kata ibu Yurike Yuki mengenai dampak Global Tax Reform.

Jadi sistem pajak internasional yang saat ini berlaku diangggap sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi dan bisnis saat ini yang berbasis digital. Banyak persoalan yang menciptakan yang namanya Tax Avoidance atau penghindaran pajak, salah satunya yg paling mencolok alokasi hak pemajakan saat ini yang lebih berbasis pada kehadiran fisik. Konsep ini di bentuk dari Tax Treaty yang terbentuk 100 thn yang lalu jadi hal ini sudah tak releven lagi dengan kondisi sekarang yang semua serba digital.

Penghindaran Pajak dan Profit Shifting

Salah satu isu utama yang dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia adalah penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Insentif lainnya yang memberi peluang terciptanya penghindaran pajak salah satunya adanya perbedaan tarif pajak atas negara Networking dengan Tax Haven Country. Hal ini memicu Profit Shifting atau pengalihan laba.

Pada akhirnya banyak potensi laba dari perusahaan multinational yang hilang dari Pph badan global setiap tahunnya, jadi 4-10% dari Global City Revenues menguap entah kemana yang nilainya setara dengan 1-240% miliar Us dollar setiap tahunnya.

Untuk merespon persoalan-persoalan ini pada akhirnya pada tahun 2013-2015 Organisation for Economic Co-operation and Devlopment (OECD) meluncurkan best project 15 rencana aksi yang intinya mereka ini mampu memerangi Tax Avoidance. 

Two Pillar Solusion

Salah satu solusi yang diusulkan oleh 2 Pillar adalah penerapan pajak minimum global sebesar 15%. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak minimum di mana pun mereka beroperasi. Jika Indonesia tidak menerapkan pajak minimum ini, negara lain yang menjadi tempat entitas induk perusahaan akan menerapkan pajak tambahan (Top-up Tax) yang dapat merugikan Indonesia sebagai negara yang mengandalkan investasi asing.

Jadi negara-negara Tax Haven  yang dasar pajaknya 0% sekarang  mereka berfikir untuk memberi insentif dalam bentuk apa untuk menarik investor karena negara tersebut sudah tidak bisa lagi pakai tarif 0%.

"Negara-negara berkembang ini masalahnya apa? Mungin mereka ini lebih bergantung pada pph badan atau pph op dimana negara berkembang ini butuh sistem pajak yang sederhana dan tidak terlalu rumit" Tambah ibu Yurike Yuki saat membahas mengenai solusi 2 pillar.

Insentif Pajak di Indonesia

Sebagai negara-negara berkembang mereka lebih memilih untuk melakukan Partial To The Bottom jadi tidak menurunkan tarif pajak secara berlebihan tapi lebih memilih untuk memberikan insentif kepada investor asing agar mereka menamkan modalnya di Indonesia.

"Jadi kita tidak perlu memberi tarif 0%, kita cukup di 22%. Lalu kita kasih insentif seperti Tax Holiday, Tax a Lawyer, Super Tax Deduction dll" Tambahnya mengenai Parcial price to the bottom.

Indonesia bisa menerapkan pajak kalau misalkan ada anak perusahaannya di Indonesia itu tarif pajaknya lebih rendah dari Indonesia. Jadi seberapa banyak entitas induk Perusahaan global yang ada di Indonesia. Biasanya entitas induk adanya di negara-negara maju seperti US, Korea, Kanada, Jepang karena yang ada di negara berkembang seperti Indonesia biasanya itu anak perusahaanya. Otomatis porsi yang lebih besar untuk mengenakan Top up tax itu sebenarnya berada di posisi negara-negara maju karena entitas induk perusahaannya ada disana.

Reformasi pajak global membawa tantangan dan peluang bagi Indonesia dalam merancang kebijakan perpajakan yang efektif. Indonesia menghadapi dilema dalam merancang kebijakan perpajakan yang dapat menarik investor asing sambil mematuhi standar OECD. Di satu sisi, insentif pajak diperlukan untuk menarik investasi, tetapi di sisi lain, penerapan pajak minimum global dapat mengurangi daya tarik insentif tersebut.  Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan, serta membatasi diskresi pihak otoritas dalam pengenaan pajak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun