©Dina Y. Sulaeman
Syukurlah, akhirnya Lady Gaga tidak jadi konser di Indonesia setelah manajemen Gaga sendiri yang membatalkan konser tersebut. Bisa jadi, ada beberapa pihak yang menghembuskan nafas lega karena tidak perlu memutuskan apa-apa. Apalagi, Dubes AS sampai turun tangan menemui DPR dan Polri, mendorong agar izin konser diberikan. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya posisi para pengambil keputusan itu. Diizinkan, banyak yang akan marah. Tidak diizinkan, Bos Besar sudah turun tangan.
Namun tidak berarti masyarakat Indonesia yang peduli pada keselamatan anak-anak dan keluarga bisa bernafas lega. PR besar masih menanti karena sejatinya, bukan keseronokan Lady Gaga saja yang menjadi sumber keprihatinan kita semua, melainkan skenario besar di balik ini semua. Pornografi dan homoseksualitas yang dipropagandakan, bukanlah letupan ekspresi seni orang per orang, namun sudah menjadi sebuah jejaring serangan budaya terhadap bangsa kita, apapun agamanya. Tetapi betapa banyak dari kita yang abai dan tertipu oleh logika-logika yang salah kaprah.
Saya mencatat beberapa logika yang dikemukakan orang-orang di internet seputar kontroversi Gaga. Memang Gaga tidak jadi datang. Tapi, kesalahan logika ini bisa dipastikan akan kembali terulang untuk kasus-kasus lainnya. Karena itu, saya merasa perlu menulis kritik terhadap logika gagap ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Di antara logika gagap yang disampaikan terkait Gaga:
1. Mengapa sih polisi dan ulama heboh mengurusi Lady Gaga? Urusin hal lain sajalah! Masih banyak hal lain yang lebih penting diurusi!
2. Dangdut koplo merajalela, yang nonton lebih banyak daripada yang mampu datang ke konser Lady Gaga. Mengapa polisi dan ormas-ormas tidak mengurusi itu semua dan cuma meributkan Gaga? Toh yang nonton Gaga cuma sedikit!
3. Gara-gara protes keras ormas-ormas radikal, Gaga malah semakin ngetop. Orang-orang yang tadinya tidak kenal Gaga akhirnya jadi tahu dan malah semakin banyak yang mengakses you tube-nya. Ini justru jadi promosi gratis buat Gaga. Sebaiknya gunakan cara-cara ilmiah, damai, dan simpatik!
Sebelum saya menjawab argumen di atas, saya mau membawakan analogi dulu. Begini, polisi menangkap si A yang korupsi 1 M. Si A marah dan berkata, “Pak Polisi! Saya ini cuma korupsi 1 M, kenapa ditangkap?! Itu si B, si C, si D, korupsinya jauh lebih besar daripada saya! Lepaskan saya, tangkap dulu mereka itu, baru Anda berhak menangkap saya!”
Menurut Anda, logiskah pembelaan yang dilakukan si A? Tidak kan?
Bila Anda mengakui bahwa Gaga memang membawa misi-misi amoral (pornografi, anti-Tuhan, pro-homoseksualitas), Anda tentu setuju bila polisi dan ulama memang harus menghalangi konser Gaga di Indonesia. Perkara mengapa polisi dan ulama tidak mengurusi dangdut koplo, itu masalah lain. Seharusnya polisi dan ulama juga mengurusi dangdut koplo. Lalu mengapa mereka diam saja atas dangdut koplo? Ya tanya saja sama para polisi dan ulama itu. Tapi, yang jelas kita tidak bisa menggunakan logika ‘Anda tidak berhak menangkap si A yang korupsi 1 M karena Anda belum menangkap si B yang korupsi 2 M”.
Masalahnya berbeda jika secara esensi, Anda memang tidak mengakui amoralitas Gaga dan tidak peduli, “mau dia siapa, mau lagunya tentang apa, mau bajunya bagaimana, ya urusan dialah!” Nah, kalau Anda permisif begitu, case closed. Kita tidak akan sampai pada kesepakatan karena titik tolaknya sudah beda: saya menolak amoralitas, Anda permisif. Tapi kalau Anda permisif, Anda ‘kalah’ dengan seorang anak SMP. Anak ini, anak seorang teman saya, berkata menanggapi Gaga, “Mereka itu kan cuma suka lagu dan penampilannya, Bu. Mereka tidak tahu siapa Gaga dan apa isi lagunya.”
Bayangkan, anak SMP saja sudah memahami bahwa ada masalah besar di balik ‘sekedar konser musik biasa’.
Yang jelas, banyak pihak yang sepakat bahwa seni yang diusung oleh Gaga ataupun dangdut koplo sama-sama merusak. Ini sebenarnya aksiomatis. KPAI, komunitas parenting, psikolog, kaum agamawan, bahkan para pecinta budaya tradisional, sangat geram dengan segala macam tampilan seni yang berbau pornografis/pornoaksi. Ini karena dampaknya sudah sangat jelas dirasakan. Indonesia adalah pangakses situs porno terbanyak ke-2 di dunia. Survey KPA menemukan data bahwa 62,7% siswi SMP/SMA sudah tidak lagi perawan. Perkosaan terjadi di mana-mana. Ini semua masalah besar yang mengancam bangsa ini.
Banyak pihak yang sudah berteriak-teriak minta perhatian pemerintah, agar masalah ini diselesaikan secara mendasar. Mereka mengadakan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan parenting, dll. Tapi, gaungnya sangat kecil. Seperti kata bu Elly Risman dalam wawancara dengan Elshinta, “Kami ini sudah berusaha, tapi kami ibarat cacing yang cuma bisa menggemburkan tanah di sekitar. Perlu air hujan yang menyirami tanah secara keseluruhan. Dan air hujan itu adalah pemerintah.”
Menanggapi argumen, “sebaiknya gunakan cara-cara ilmiah, damai, dan simpatik,” saya ingin bertanya. Apakah bila protes atas kehadiran Gaga dilakukan dengan diskusi-diskusi terbatas, atau tulisan di koran, gaungnya akan sebesar sekarang? Seperti saya ceritakan di atas, sudah banyak ‘pejuang’ (misalnya bu Elly Risman bersama Yayasan Kita dan Buah Hati dan Bunda Rani Noeman) yang berusaha meminta perhatian pemerintah dan publik atas bahaya pornografi dan propaganda homoseksualitas, tapi toh gaungnya hanya dirasakan oleh kalangan terbatas.
Saya tidak sepakat dengan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh ormas tertentu. Tapi, aksi-aksi demo beberapa ormas menurut saya bukanlah aksi kekerasan. Justru karena aksi-aksi demo itulah, kontroversi Gaga semakin mengemuka, dan itulah yang membuat kepala-kepala saling menoleh dan tersentak. Apa ini? Siapa Gaga? Apa yang membuat dia harus dilarang?
Kalaupun dikatakan aksi-aksi protes dan ancaman ormas terhadap Gaga menjadi promosi gratis bagi Gaga, sebenarnya, ini bagai pedang bermata dua. Oke, bisa saja, orang yang tidak kenal Gaga akhirnya jadi penasaran dan ingin mencari tahu. Tapi, tanpa kontroversi pun, orang yang tadinya tidak tahu Gaga juga akan tahu karena pastilah televisi juga akan menyiarkannya sebagaimana TV juga menyiarkan berita (bahkan siaran ulang) konser-konser artis lainnya. Jika tidak ada aksi-aksi protes, mereka akan tahu juga, tapi tahu tanpa wawasan. Mereka mungkin akan menerima Gaga begitu saja, tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang dipropagandakan Gaga.
Justru dengan adanya kontroversi ini, peluang untuk kembali mengangkat wacana soal moralitas, penguatan pondasi keluarga, dan diskusi anti homoseksualitas menjadi semakin terbuka. Orang-orang yang semula tidak ngeh pada kenyataan bahwa propaganda homoseksualitas sedemikian gencarnya dilakukan oleh banyak pihak, kini menjadi tersadarkan. Para orang tua yang tadinya tidak tahu dan merasa aman-aman saja mendengar nama Lady Gaga, akhirnya tahu bahwa ternyata lirik-lirik lagunya berbahaya dan bisa meracuni otak anak-anak mereka.
Di sini, saya melihat, gonjang-ganjing Gaga, meskipun di satu sisi boleh dikatakan promosi gratis bagi si Gaga, tapi di sisi lain malah membantu upaya para pendekar parenting, pemerhati budaya, kaum agamawan, dll yang selama ini dicuekin itu, untuk membangkitkan kesadaran banyak orang mengenai bahaya yang sedang mengancam generasi muda kita. Mudah-mudahan, kontroversi ini menyadarkan pemerintah juga, agar lebih aktif lagi, tidak sekedar mengomentari Gaga, tetapi juga mengambil langkah nyata, termasuk melarang pementasan artis lokal yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
Menurut kamus, Gaga berarti 'gila, pikun, loyo, atau berotak kosong'. Mudah-mudahan, diskusi masalah Gaga ini membuat kita terhindar dari kegilaan dan kebodohan; dan mampu mengkritisi beberapa logika gagap yang dikemukakan banyak pihak atas nama kebebasan bicara dan ekspresi.©Dina Y. Sulaeman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H