Sungguh, saya sebenarnya males banget nulis soal ini. Kesannya infotenmen banget deh. Tapi apa daya, kemarin saya seharian ‘diteror’ oleh kasus ‘Ariel’. Pagi2, dalam perjalanan menuju kampus, seorang sobat, ibu rumah tangga yang kadang saya kagumi kecerdasannya karena mampu berpikir substantif, menelpon. Dia kesal dengan kehebohan soal Ariel. Yang membuatnya tambah marah, kenapa tivi juga ikut heboh? Di rumah, anaknya cuma lihat kartun. Tapi setelah pulang dari rumah tetangga, anaknya bawa cerita soal Ariel.
Di kelas, mata kuliah Human Security.. ee..si Ariel disebut-sebut lagi (hayo, tebak-tebakan buat penstudi HI, apa hubungan Ariel dan Human Security?). Diskusi dengan teman-teman kuliah pun, mau ga mau, ngurusin Ariel lagi. Pulang kuliah, naik kereta, ee.. sebelahan sama ibu2 yang lagi baca koran dengan headline soal si Ariel. Masih belum cukup, besok paginya, saya nganter Reza ke playgroupnya, oalaaa...ibu2 juga sedang ngobrolin si Ariel. Duh kacaw deh.
Mau ga mau, saya terpaksa nulis jurnal ini (karena sudah jadi ‘penyakit’ saya, kalau ada ide tapi tidak dituliskan malah jadi kepikiran terus). Ada satu hal penting yang terlintas dalam benak saya: hukum Islam memang benar-benar didesain oleh Dzat yang Mahatahu, Mahakuasa, Mahabijak. Allah sungguh benar-benar lebih tahu tentang manusia. Tapi manusia sering sok tahu dan merasa lebih tau mana yang baik-mana yang tidak buat dirinya.
Dulu, saya pernah bingung menjawab cercaan orang, “Hukum Islam itu kejam, masa zina aja dirajam ampe mati? Maling dipotong tangan?!”
Di Iran, saya menemukan jawabannya. Hukum rajam terhadap pezina disyaratkan harus ada minimal saksi dua laki-laki atau empat perempuan, yang BENAR-BENAR MELIHAT kejadian/adegan perzinaan itu. Apa artinya? Artinya, zina sebenarnya memang urusan privat dan yang bertanggung jawab adalah si pelaku di hadapan Allah. Tapi, bila perzinahan itu dilakukan di depan umum, maka urusannya bukan privat lagi, tapi akan jadi masalah sosial. (Dengan perantara video sekalipun. Apa gunanya direkam kalau bukan buat diliat lagi? Dan saat merekam, pastilah mereka sudah tahu, hari gini, gak ada yang bisa aman tersimpan; memori hp dihapus aja bisa dimunculkan lagi datanya).
Ketika perzinahan dilakukan di depan umum, maka dampak sosialnya sangat-sangat besar. Hari ini kita membaca kabar, rekaman video porno amat merajalela, bahkan dengan mudah diakses anak-anak SD. Dikabarkan, ada jutaan orang Indonesia yang men-download video “Ariel” dan selama ini pun, ada ribuan orang (termasuk remaja) yang rajin mendokumentasikan urusan privatnya itu untuk kemudian diupload di internet. Indonesia pun menjadi negara urutan ke-2 di Asia yang ‘melegalkan’ pornografi. Secara resmi mungkin tidak legal, tapi buktinya, di negeri ini mudah sekali akses terhadap pornografi.
Survey dari Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan:
- 1 dari 3 anak kecil sudah biasa melihat pornografi
- 1 dari 2 anak mengakses pornografi di rumah (melalui game, komik, internet, tivi)
- 50% sinetron Indonesia mengandung pornografi
(kalau survey dilakukan sekarang-sekarang ini, pasti datanya lebih parah, saya nonton berita/news aja ada cuplikan adegan Ariel kok.. apalagi kalau nonton infotenmen, denger2 lebih parah lagi tayangannya).
Oiya, masih menurut psikolog di Yayasan Kita dan Buah Hati, pornografi lebih berbahaya dari kokain. Begini sebabnya. Manusia punya enam hormon yg seharusnya aktif saat terjadi hubungan seks yang dilakukan secara resmi (halal) dengan pasangan Tapi, melalui komik, game, dll, hormon-hormon itu diaktifkan pada anak kecil dan tanpa pasangan. Akibatnya: otak rusak, melebihi kerusakan yang ditimbulkan oleh kokain. Jika anak2 kecil itu mengalami 33-36 kali ejakulasi (akibat melihat adegan porno), seumur hidup dia akan menjadi pencandu pornografi.
Jika sudah begini, tak heran bila survey Komnas Anak menyebutkan, 60% pelajar SMP-SMA tidak perawan lagi. Akan kemana bangsa ini? Mau bicara soal substantif (mana sistem pemerintahan yang baik, paradigma ekonomi mana yang seharusnya dianut, bagaiman cara memberantas korupsi dan kartel politik, bagaimana supaya perusahaan asing tak terus-terusan menjajah kita..bla..bla..)? Wah, kelaut aja deh, siapa yang mau mikir soal-soal begini kalau sebagian besar anak bangsa sudah diracuni oleh pornografi?
Dalam situasi seperti ini, masihkah apa yang dilakukan “Ariel” dan orang-orang lain yang ‘sakit’ (mungkin narsistik, parafilia, atau bisa jadi eksibisionis) karena punya kegemaran merekam wilayah privatnya, dianggap sebagai persoalan privat? Masihkah negara berdebat, perlu tidaknya “Ariel” -atau siapapun yang melakukan perbuatan serupa- dihukum seberat-beratnya? []
Catatan tambahan: