Tenang, asri, nyaman, sederhana. Itulah kata yang pantas untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Sumbersari, dan Kampoeng Keramat di Dusun Bangsri, Desa Patokpicis, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang.
Patokpicis adalah sebuah desa di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa Patokpicis ini terletak sekitar 40 Km dari Kota Malang arah tenggara, diantara Kecamatan Tumpang, Tajinan, Bululawang, Turen, dan Dampit. Secara geografis, Desa Patokpicis terletak di kaki gunung Semeru sebelah barat. Secara astronomis, terletak pada 112o 37' 32" sampai 122 o 54' 56" dan 8 o 21' 45", dengan luas wilayah 573.328 Ha.
Untuk menuju Desa Patokpicis, diperlukan waktu 30-45 menit, melihat kondisi jalan yang dilewati berbatu, berdebu, dan agak menanjak. Jalan yang ada di Desa Patokpicis rata-rata berbatu dan berdebu, tanpa aspal.
Luas lahan Desa Patokpicis yang diperuntukkan untuk pemukiman adalah 85,71 Ha, untuk pertanian 178,76 Ha, untuk ladang tegalan dan perkebunan 36,00 Ha, untuk hutan lindung 1.000,00 Ha, untuk hutan produksi 511,00 Ha, untuk perkantoran 1,00 Ha, untuk sekolah 6,46 Ha, dan tempat pemakaman 5,00 Ha. (Sumber: etheses.uin-malang.ac.id/1423/7/08210010_Bab_4.pdf)
Desa Patokpicis ini adalah desa terluas yang berada dikecamatan Wajak, Kabupaten Malang yang dihuni sekitar 6466 jiwa (Tahun 2012). Desa ini terdiri dari 4 dusun, yakni: Klakah, Patokpicis, Sumbersuko, dan Bangsri. (Sumber: http://patokpicisbersinar.blogspot.com/2012/04/patokpicis-profil-desa.html)
Yang akan fokus kita bahas kali ini adalah pada Dusun Bangsri. Ternyata Dusun ini dibagi lagi menjadi beberapa wilayah yang terdiri dari Bangsri sendiri, Sumbersari, dan Keramat.
Siapa sangka, dibalik rindang dan indahnya hutan pinus tersebut ternyata tersimpan rapi sebuah peradaban masyarakat yang masih mempertahankan budaya kesederhanaan di dalamnya.
Pertama, kita menuju ke pembahasan wilayah Sumbersari. Sebenarnya tidak seberapa jauh, hanya berjarak + 4 Km dari pusat Pemerintahan Desa Patokpicis. Namun, jalurnya yang harus dilalui sungguh luar biasa, mulai dari jalanan aspal yang sudah rusak, memasuki jalanan makadam berbatu, kemudian tibalah pada jalan setapak ditengah hutan sebelum memasuki gapura sederhana yang terbuat dari kayu, sebagai pertanda sudah memasuki wilayah Sumbersari. Disana hanya terdapat 27 Kepala Keluarga, rumah berentetan yang begitu sederhana dan berkecukupan.
Kondisi masyarakat disana masih sangat sederhana, bahkan sangat minim sekali bangunan rumah yang menggunakan batu bata. Kebanyakan disana masih menggunakan kayu sebagai bahan pembuatan rumahnya dan pengerjaannya juga masih mempertahankan prinsip gotong royong antar sesama warga.
Fasilitas yang menunjang aktivitas warga hanya terdapat masjid yang berada ditengah permukiman. Akses pendidikan, jual-beli, masih belum terpenuhi disana. Tidak jarang, mereka harus merelakan waktu dan tenaganya untuk menuju ke pusat pedesaan atau bahkan tetangga desa demi memperoleh pendidikan dan melakukan kegiatan jual beli.
Tidak ada kekecewaan atau keluh-kesah yang terdengar dari masyarakat disana, mereka lebih mengutamakan rasa syukur dan kekeluargaan antar sesama manusia karena masih diberikan kehidupan selama ini. Mereka juga menikmati kehidupannya selama ini walaupun berada ditengah hutan dan membutuhkan akses yang lebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, kini kita membahas tentang Kampoeng Keramat. Sebelumnya, kampung ini pernah ramai menjadi pembicaraan media karena pernah dijadikan tempat persembunyian sekelompok teroris hingga akhirnya tertangkap oleh pihak keamanan. Sampai-sampai mereka disana juga memobilisasi warga untuk membuat masjid megah yang berada ditengah permukiman masyarakat dan masih dijadikan sebagai tempat aktivitas keagamaan hingga saat ini.
Selain itu, menurut cerita masyarakat disana. Kampung ini dahulu kala adalah tempat bertempurnya Dora dan Sembada (dua pengikut Aji Saka pemegang tahta Negeri Medangkemulan), kemudian sama-sama meninggal dan jasadnya dikuburkan di kampung ini.
Memang terdapat dua makam yang berdampingan di ujung wilayah ini kemudian diyakini sebagai makam Dora dan Sembada pengikut Aji Saka. Hal itu juga dibenarkan oleh juru kunci makam disana, kemudian dari peristiwa tersebut terciptalah "Aksara Jawa" yang kita kenal selama ini yakni HANACARAKA, DATASAWALA, PADHAJAYANYA, MAGABATANGA. (Ada Utusan, Saling bertengkar, Sama kuatnya, Inilah mayatnya).
Terlepas dari kejadian dan peristiwa-peristiwa tersebut, memang letak Kampung Keramat ini sangat masuk kedalam hutan belantara, dari pusat Pemerintahan Desa Patokpicis saja memiliki jarak + 7 Km. Memasuki hutan belantara, perkebunan dan ladang, jalanan naik dan turun, mirip seperti rute jalanan trail, medannya juga terjal berdebu dan berbatu.
Namun, hanya itulah akses satu-satunya yang digunakan masyarat disana untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Hanya terdapat 14 Kepala Keluarga disana. Ungkap salah satu warga disana, dahulu banyak masyarakat yang menetap disini, namun seiring berjalannya waktu sudah banyak yang pindah kebawah di pusat Dusun Bangsri karena dirasa akses kehidupan disana lebih mudah dan terjamin.
Anak-anak jika ingin mengenyam pendidikan harus turun terlebih dahulu menuju desa sebelah Desa Bambang. Jika musim hujan, anak-anak merelakan waktunya untuk tidak berangkat ke sekolah karena akses jalannya yang sangat berbahaya.
Warga disana mengungkapkan sudah bersyukur sudah bisa menjalani kehidupannya seperti ini. Mereka juga menikmati warisan leluhur untuk menjaga dan menempati wilayah ini, sehingga ada beberapa masyarakat yang rela menghabiskan hidupnya ditempat tersebut dan tidak berpindah menuju pusat pemerintahan Dusun Bangsri. (DI)