Mohon tunggu...
Dina Hariani Silalahi
Dina Hariani Silalahi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Student

Whatever you are, be a good one!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pepsi Ads, Inikah yang Dipikirkan?

29 Maret 2021   12:26 Diperbarui: 1 April 2021   21:19 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: advertisementsareeverywhere.wordpress.com 

Perlawanan terhadap Iklan

Pernahkah kalian melihat gambar-gambar plesetan maupun sindiran sebuah merek? Ya, gambar di atas merupakan salah satunya. Hal tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat serangkaian pesan sindiran atas logo sebuah brand yaitu pepsi. Berbicara mengenai perlawanan terhadap sebuah iklan, ternyata hal itu merupakan sebuah culture jamming, loh!

Nah, sebelum kita membahasnya lebih jauh, ternyata culture jamming juga erat kaitannya dengan konsep posmodernisme. Maka dari itu, mari kita memperdalam apa itu culture jamming dan bagaimana kaitannya dengan postmodernisme.

Apa itu Posmodernisme?

Hal ini dapat kita lihat dari kehidupan yang kita jalani saat ini. Posmodernisme pada awal kemunculannya bukan menandakan sebuah puncak budaya yang baru sesudah periode modern, melainkan suatu aksi dari modernisme.  

Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana budaya postmodernisme membawa kita kepada dunia konsumerisme dengan periklanan yang semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak iklan yang menerpa masyarakat melalui berbagai macam media.

Terlepas dari itu, iklan pada dasarnya digunakan sebagai jembatan komunikasi kepada masyarakat dengan berbagai tujuan, seperti agar masyarakat mengenal produk yang diiklankan atau bahkan mengkonsumsinya. Menurut Fowles (1996), periklanan adalah salah satu manifestasi dari popular culture yang paling banyak ditemukan di mana-mana. Baik periklanan maupun popular culture, keduanya adalah produk dari industri kultur yang sangat sering muncul secara bersamaan.

Tidak hanya itu, Fowles (1996) juga mengutip kritik yang muncul dalam Horkheimer dan Adorno yang pada intinya semua kultur massa adalah identik dan demikian menciptakan suatu keseragaman dalam benak masyarakat, di mana industri kultur ini dianggap merampok individualitas dari pemikiran seseorang. Berdasarkan hal tersebut, iklan menciptakan sebuah stereotype-stereotype yang sempit dan seragam kepada masyarakat.

Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana akhirnya postmodernisme memunculkan budaya konsumerisme. Melalui iklan yang diberikan, masyarakat menjadi terdorong untuk mengkonsumsi segala sesuatu secara berlebihan melalui komodifikasi budaya untuk kepentingan ekonomi. Lantas, apa kaitannya dengan culture jamming?

Mengenal Culture Jamming

Keberadaan iklan yang membawa pengaruh konsumerisme di tengah masyarakat mendapat kritik keras dari kelompok anti-konsumtivisme. Kritik-kritik tersebut muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap iklan dengan segala efek negatifnya terhadap masyarakat.

Masyarakat membuat iklan-iklan parodi dengan tujuan mengejek ataupun menyindir suatu iklan yang dianggap berkaitan dengan suatu isu yang negatif. Dalam hal ini, metode yang mereka lakukan pun bermacam-macam. Ada yang membuat versi sindiran suatu iklan dalam media yang terpisah, namun ada juga yang secara langsung mengubah dan merusak visual asli iklan tersebut.

Gerakan perlawanan terhadap budaya konsumerisme ini lah yang disebut sebagai culture jamming (Nomai, 2008). Adapun pelaku culture jamming ini disebut sebagai culture jammers baik berupa kelompok, organisasi, atau bahkan individu atau perorangan.

Berangkat dari kondisi tersebut, menurut Barker dan Jane (2016), upaya untuk membelokkan pesan tersebut dilakukan dengan cara merumuskan kembali unsur-unsur yang terdapat dalam iklan. Iklan yang seharusnya membawa citra sebuah brand menjadi sesuatu yang berbeda. Hal tersebut didasari oleh teks pada iklan yang memperkuat makna dan konteks yang memberi makna pada objek iklan.

Secara sederhana, culture Jamming di sini dapat diposisikan sebagai sebuah noise dalam proses komunikasi iklan. Logo yang kemudian diganti dengan bentuk yang hampir serupa memiliki pesan baru khususnya yang berkaitan dengan kritik terhadap iklan dan dampaknya pada lingkungan sosial.

Culture Jamming pada Logo Pepsi

Masing-masing iklan suatu brand tentu memiliki elemen-elemen yang dapat diserang oleh culture jamming, termasuk isi pesannya. Dalam proses komunikasi, tidak terkecuali komunikasi satu arah, selalu ada kemungkinan adanya hambatan yang menyebabkan proses komunikasi yang disampaikan menjadi tidak lancar.

Hal ini dapat kita lihat pada iklan pepsi. Culture jammers bereaksi dengan mengubah logo pepsi menjadi seseorang yang berbadan gemuk. Jammers mengubah logo tersebut sebagai peringatan bahwa pepsi merupakan minuman yang dapat menambah berat badan. Tidak hanya itu, harapan dari para jammers adalah agar masyarakat menyadari akan banyaknya dampak yang ditimbulkan serta masalah-masalah yang layak mendapat perhatian lebih.

Kritik keras dari para jammers dilakukan sebagai bentuk perlawanan mereka atas anti-konsumtivisme. Dapat kita lihat, logo pepsi yang diproduksi kembali oleh masyarakat menjadi kode simbolik untuk mengkomunikasikan keberadaan suatu kelompok sosial tertentu.

Daftar Pustaka:

Barker, C., & Jane, E. (2016). Cultural studies: theory and practice. (5th ed.). Los Angeles: SAGE Publications.

Fowles, J. (1996). Advertising and popular culture. London: SAGE Publications.

Nomai, A. J. (2008). Culture jamming: ideological struggle and the possibilities for social change. Austin: University of Texas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun