Mohon tunggu...
Dinar Okti Noor Satitah
Dinar Okti Noor Satitah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Profesional MC

Kebijakan Publik dan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menolak Lupa: Bangsa Indonesia Dibentuk oleh Pemuda

28 Oktober 2013   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu hasil bentukan ini adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa atau Belanda. Bahasa Indonesia atau bahasa melayu pasar bukan bahasa mayoritas pada jamannya. Padahal di jaman pergerakan nasional, bahasa Jawa dan Belanda lebih dominan digunakan. Sekali lagi, kebangsaan Indonesia adalah konsep tentang masa depan, bukan warisan! Pembentukan bahasa nasional sebagai wadah kolektif kebangsaan yang berhasil dijalankan di Indonesia, ternyata gagal dilaksanakan di India pada era yang sama.

Apakah Indonesia akan Hancur?

Salah satu pertanyaan besar berikutnya adalah bagamana orang-orang yang hidup di masa kini menerima konsep kebangsaan Indonesia. Negara sekuat Yugoslavia yang langganan menjadi finalis piala dunia, pada akhirnya pecah berkeping-keping. Bahkan Uni Soviet yang pernah mengirimkan manusia ke luar angkasa, akhirnya hanya tinggal sejarah. Apakah kemungkinan kehancuran Indonesia (yang belum pernah menjadi finalis piala dunia, apalagi mengirimkan manusia ke luar angkasa) lebih besar?

Jawabannya bukan pada konteks runtuhnya ideologi akhir tahun 1980an, tapi pada aktor-aktor yang memegang power untuk mengendalikan negara. Kita dihadapkan pada sebuah tatanan yang sangat jauh dari konsep yang dibangun oleh founding fathers, sistem yang terlegalkan sangat jauh meleset dari amanah kontitusi UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) sudah tegas mengatakan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Namun pemerintah sejak jaman orde baru telah mengobral perijinan pengelolaan hutan kepada pihak swasta, baik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Demokrasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah pada tahun 1998 pada prakteknya hanya menjadi oligarki, hanya orang yang memiliki modal finansial yang dapat maju mengikuti pemilu. Akhirnya yang muncul sebagai kandidat pemimpin adalah "orang-orang yang sama". Oknum-aktor-agen kekuasaan dari tatanan atas sampai bawah, menggurita dalam korupsi. Jika Bung Karno berkata "beri aku sepuluh pemuda yang hatinya berkobar, maka akan kugoncang dunia", pertanyaannya adalah pemuda yang seperti apa. Mengapa menjamurnya gerakan pemuda belum mampu membuat prestasi mencengangkan seperti gerakan pemuda di awal abad ke-20.

Aktor dan Sistem

Salah satu jawabannya adalah model keterhubungan antara aktor dan sistem. Aktor dalam konteks ini adalah pemimpin, pembuat kebijakan, pemilik kekuatan yang ditugaskan untuk menjaga amanah rakyat. Sedangkan sistem dalam konteks ini, adalah rule negara, undang-undang, aturan yang menjadi dasar kebijakan negara. Seorang aktor yang kuat dapat menciptakan sistem atau tatanan.

Mantan presiden Venezuela Hugo Chavez mengeluarkan kebijakan nasionalisasi energi sehingga sumber-sumber pendapatan negara tidak jatuh di tangan asing. Di Venezuela, nasionalisasi hingga hari ini ternyata dapat berjalan relatif aman, lancar, dan berdampak positif bagi kemakmuran rakyatnya. Presiden Bolivia Evo Morales, beberapa waktu lalu juga memutuskan menasionalisasi seluruh perusahaan gas alam dan minyak di negara itu. Perusahaan energi asing harus menyetujui penyaluran seluruh penjualan hasil produksinya melalui negara atau pergi dari Bolivia.

Sehingga kesimpulannya adalah ganti aktor, perbaiki sistem, kembali kepada amanah konstitusi!  Dari sekian pemilu yang terjadi di Indonesia, apakah rakyat telah memilih pemimpin yang benar? Jika mayoritas masyarakat tidak mengetahui apa dan bagaimana visi, misi, program pemimpin dan wakil yang dipilihnya. Otomatis, fungsi demokrasi di Indonesia menjadi tanpa arti. Di sinilah peran pemuda terdidik untuk menyebarkan esensi demokrasi.

Edukasi dan Kolaborasi

Kata kunci pertama adalah edukasi. Pentingnya memberikan edukasi sejarah, politik, dan hak-hak transparansi kepada masyarakat. Agar esensi demokrasi dapat menginjak bumi, hak-hak konstitusi yang diperjuangkan saat reformasi 1998 harus diketahui oleh seluruh masyarakat dan dimanfaatkan dengan baik untuk memilih pemimpin yang benar. Rakyat yang cerdas akan memilih pemimpin yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun