Mohon tunggu...
Dinar Rahmayanti
Dinar Rahmayanti Mohon Tunggu... Novelis - S1 Perbankan Syariah, STEI SEBI

Belajar mengikat ilmu dengan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Miracle Part 3 [Nyaris Gagal]

25 November 2021   06:09 Diperbarui: 25 November 2021   06:25 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam baru menunjukan pukul 05.30, Naila sejak pagi sudah dibangunkan untuk bersiap pergi ke sekolah seperti biasa. Sang ibu memang sengaja selalu membangunkan Naila sejak pagi agar bisa terlebih dahulu sarapan dirumah sebelum berangkat sekolah. 

Padahal jam masuk sekolah Naila pukul 07.20. Naila sempatkan membantu pekerjaan dapur ibunya sebelum berangkat, tugasnya hanya mencuci piring bekas mereka berdua makan tadi malam. Setelah Naila berangkat sekolah sang ibu biasanya pergi ke sawah, sengaja pagi-pagi sekali agar tidak terlalu panas saat terik matahari tepat diatas kepala, sedangkan pekerjaannya belum selesai.

Sarapan pagi ini hanya dengan 2 butir ceplok saja. Naila bergegas mandi dan berpakaian rapih, setelah itu sudah duduk di amben untuk sarapan. Sepiring nasi dan 1 butir telur ceplok sudah ludes diatas piring. Naila mengisi penuh piring makannya agar kuat hingga makan siang nanti di sekolah. Maklum, pada jam istirahat pagi naila tidak makan apapun, ia hanya akan menghabiskan uangnya untung makan siang saja, dan memang hanya cukup untuk sekali makan.

Naila memasukan sebotol air minum kedalam tas gendongnya yang berwarna coklat. Tas itu hadiah dari sang kakak untuk Naila karena menjadi peringkat pertama dikelas. Tas itu di dapatnya sejak kelas 2 SMP, sudah 5 tahun menemani Naila setiap hari. 

Beruntung tas itu dibeli dengan harga agak mahal, jadi tidak cepat rusak padahal tas bawaan Naila selalu berat setiap hari, karena membawa buku dan sebotol penuh air minum. 

Naila sebetulnya sudah bosan, teman-temannya sudah berkali-kali berganti tas, sedangkan ia hanya itu-itu saja dari tahun ke tahun. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang Naila punya. Bahkan ketika tas itu basah kuyup saat dibawa menerobos hujan, Naila tidak punya gantinya. Ia hanya akan menaruhnya di dekat tungku agar mendapatkan sedikit panas dan kering, sehingga keesokan paginya bisa ia gunakan kembali.

Jam sudah menunjukan pukul 06.30, artinya Naila harus bergegas pergi ke sekolah, karena berjalan kaki Naila membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai di sekolah dengan tepat waktu. Naila mengikat sepatu, meraih tasnya dan bergegas mencium tangan sang ibu untuk berpamitan. "Naila berangkat ya bu, Assallamualaikum." Ujar Naila sambil beranjak meninggalkan pintu.

Seperti biasa, Naila hanya berjalan kaki seorang diri sampai ke sekolah, hari ini hari senin, Naila sudah sampai di sekolah sebelum pukul 07.00 (sebelum upacara bendera dimulai). Setelah sampai di kelas Naila meletakan tasnya dikursi paling depan. Naila memang paling enggan duduk di belakang. Naila lebih suka duduk di depan agar bisa konsentrasi saat belajar, karena seperti biasa di bangku belakang akan berisik dan tentu saja tidak bisa mendengar jelas saat guru menjelaskan. Naila duduk sejenak, mengeluarkan air minum di tasnya dan meneguknya sedikit. Setelah berjalan cukup jauh tentu saja Naila butuh sedikit istirahat.

Sinar matahari matahari pagi itu mulai terasa panas, sebentar lagi upacara akan selesai setelah pembina upacara memberikan sambutan. Bagian ini memang paling membosankan, pembina di depan sana akan bicara panjang lebar dibawah naungan atap sekolah yang sejuk, sementara para siswa sudah seperti cacing kepanasan ditengah lapangan yang mualai terik. Pembina upacara pagi itu adalah pak kepala sekolah. Rupaya pekan ini adalah pekan terakhir belajar, karena senin depan sudah masuk ujian tengah semester. Naila baru sadar akan hal itu, artinya ia hanya mempunyai waktu sepekan lagi untuk mempersiapkan ujian.

Selain mempersiapkan materi Naila tersadar, ia belum menyelesaikan satu pembayarannya. Ya, pihak sekolah memang sudah jauh-jauh hari memberitahu pembayaran untuk bimbingan belajar (pelajaran tambahan), khusus untuk anak kelas yang sebentar lagi menghadapi ujuan Nasional dan ujian kelulusan. Begitupun Naila, ia sudah jauh-jauh hari memeritahukan hal ini pada kedua orangtuanya. Tetapi memang keadaan keuangan yang sulit, hingga sekarang Naila belum menerima uang sepeserpun dari orangtuanya untuk pembayaran.

Uang itu hanya 300 ribu rupiah besarnya, tapi bagi Naila dan keluarganya tentu bukan nominal yang kecil. Naila mulai hawatir, karena yang ia dengar dari sambutan tadi bahwa tidak boleh mengikuti ujian bagi siswa yang belum melunasi biaya bimbel tersebut. Fokusnya pecah, ia tidak tenang mempersiapkan ujian dengan maksimal. Tetapi Naila juga tidak tega jika harus menagih uang itu lagi pada orangtuanya. Karena Naila tau, belum diberi artinya memang belum ada, bukan sengaja tidak mau membayar. Orangtua Naila selalu mengusahakan untuk tidak menunda pembayaran jika berurusan dengan sekolah anaknya.

Siang itu ada empat pelajaran dikelas, Naila mengikuti semuanya dengan baik meskipun pikirannya tidak pernah lepas dari masalah uang 300 ribu tersebut. Ia bingung apakah akan mengatakannya lagi pada orangtuanya atau tidak, Naila tidak tega tetapi ia juga tidak punya pilihan lain. Saat tiba jam istirahat, topik pembicaraan anak satu sekolah ternyata masih mengenai pembayaran itu. 

Bebrapa teman dekat Naila ternyata dalam keadaan yang sama dengannya, belum membayar sama sekali dan ada yang belum bisa melunasi. Semunya dalam perasaan ketakutan tidak bisa mengikuti ujian. Entah bagaimana pembicaraan siang itu menjadi lebih haru, Naila dan dua teman dekatnya duduk di lantai belakang kelas. 

Bergantian mereka hanya bercerita tentang kesulitan keluarganya masing-masing. Ya, kedua teman Naila tersebut kondisi perekonomian keluarganya tak jauh berbeda dengan Naila. Pembicaraan mereka semakin larut dalam kesedihan, ketiganya takut tidak bisa mengikuti ujian. Tentu akan sia-sia saja mereka mempersiapkan dari jauh-jauh hari untuk belajar.

Naila menahan air matanya yang sudah tergantung diujung mata, sekali saja ia berkedip maka akan jatuh membasahi pipinya. Tetapi kedua teman Naila tak kuasa lagi menahan harunya hingga meneteskan air mata, Naila merangkul dan mencoba menenangkan dua sahabatnya itu, juga menenangkan dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya mereka bertiga larut dalam haru dan disergap kehawatiran. Sesekali pikiran Naila jauh menerawang, dari mana ia harus mendapatkan uang 300 ribu rupiah itu dalam waktu satu minggu.

Hari demi hari dilalui Naila dengan perasaan takut dan cemas, ia bingung tapi juga tidak bisa melakukan apa-apa. Lima hari sudah berlalu, uang yang harus segera dibayarkan tidak juga ada di tangan. Naila tentu saja sudah menanyakan  kembali uang itu pada sang ibu dengan berat hati, namun apa boleh buat, memang sudah 2 minggu ini ayah Naila tidak mengirimkan uang pada mereka. Naila pasrah, hari senin esok biarlah memeberikan jawaban akan nasibnya nanti.

Pagi-pagi sekali seperti biasa Naila sudah bangun dan berpakaian rapih. Ya, ini hari senin dimana Naila akan memulai hari pertama ujian akhir semesternya di kelas tiga. Pagi ini ibu Naila tidak pergi ke ladang, Naila sudah meminta ibunya untuk datang ke sekolah. Pihak sekolah ternyata memberikan keringanan pada siswa yang masih memliki tunggakan, mereka diizinkan ikut ujian dengan catatan tenggang waktu dan mewajibkan orangtua wali menghadap kebagian kemahasiswaan. Ini sebagai syarat untuk pengambilan kartu ujian.

Sebetulnya Naila tak tega melihat raut wajah ibunya, nampak sekali raut cemas pada wajah itu. Tetapi tak ada pilihan lain, Naila menguatkan hatinya lagi dan lagi. 

Pagi itu Naila memutuskan pergi ke sekolah dengan ojek, kasihan jika ibunya yang sudah sepuh harus berjalan kaki cukup jauh. Hanya butuh waktu 7 menit untuk sampai di sekolah jika ditempuh dengan kendaraan. Tidak biasanya pagi-pagi sekali sudah sekolah sudah ramai. Rupanya ada beberapa orangtua juga yang datang hari itu, tentu saja anak-anak yang bernasib sama seperti Naila.

Naila bergegas mengantarkan sang ibu kedepan ruangan kemahasiswaan, hanya orangtua yang boleh masuk. Naila memutuskan pergi ke kelas menyimpan tas bawaannya, ia juga harus mencari nomor bangkunya, saat ujian memang diharuskan duduk berdasarkan nomor absen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun