Mohon tunggu...
Dinar Rahaju Pudjiastuty
Dinar Rahaju Pudjiastuty Mohon Tunggu... Lainnya - menulis fiksi dan non fiksi

Beberapa karya fiksi berbentuk cerita pendek bisa dilihat di berbagai koran. Menerjemahkan. Menulis non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hendak Kemana Sistem Kesehatan Kita?

15 Maret 2024   10:52 Diperbarui: 15 Maret 2024   10:55 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(keterangan: tulisan ini saya ikutkan pada lomba esai tentang UU Kesehatan, tapi tidak menang, sehingga tentu hak publishing kembali ke saya)

Menyimak berita dan opini mengenai Undang-Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan) di media massa seperti menonton pertandingan antara dua gladiator raksasa. Kami adalah segerombolan penonton di pinggir lapangan. Sekelompok massa yang bersatu dalam iuran BPJS, pertanyaan kami hanya seputar: apakah nanti BPJS masih berlaku? Pengobatan apa saja yang dikover BPJS? Iuran BPJS naik atau tidak?

Semoga tidak ada kata kalah dan menang dalam pertandingan ini, melainkan kedua gladiator itu bergandengan tangan dan berdamai. Lalu kami para penonton pulang dengan hati yang tenang bahwa ada jaminan pengobatan jika kami sakit, akan menjadi lebih baik dari sekarang.

Sekilas mengenai UU Kesehatan ini: dinyatakan berlaku pada tanggal 8 Agustus 2023 kemudian memicu aksi demonstrasi dan pernyataan sikap menolak undang-undang ini. Bagian kelompok masyarakat yang tidak bersetuju dengan UU Kesehatan ini semisal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menyatakan undang-undang ini cacat formil karena tidak melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation) dari masyarakat, pembuatan undang-undang ini dianggap terburu-buru dan berbagai kekhawatiran yang pada akhirnya IDI dan organisasi profesi terkait tenaga medis dan tenaga kesehatan mengajukan uji materi UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan cacat formil. Sidang pertama MK membahas masalah ini sudah digelar pada hari Kamis, 7 Oktober 2023.

Opini-opini dari beberapa dokter yang saya baca di media massa mengupas kemubaziran (redundancy) UU Kesehatan ini karena undang-undang sebelumnya terkait bidang kesehatan masih baik-baik saja dan dapat dilaksanakan sehingga kalaupun perlu perbaikan, menurut opini tersebut, lebih baik membuat peraturan tambahan yang mengatur masalah yang dianggap belum terkover di undang-undang sebelumnya daripada membuat undang-undang baru dan mencabut undang-undang sebelumnya.

Dari Pemerintah sendiri sebagai pembuat undang-undang, melalui Menteri Kesehatan dan DPR, menyatakan bahwa undang-undang ini diperlukan untuk mereformasi sistem kesehatan di Indonesia. Sudah saatnya terjadi transformasi enam pilar sistem kesehatan di Indonesia. Enam pilar kesehatan tersebut yaitu: layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan.

Dari tulisan Menkes, UU Kesehatan ini merupakan upaya untuk menjadi negara industri berpendapatan tinggi yang makmur pada tahun 2045 (Indonesia Emas) adalah dengan mengatasi bidang penting dimana investor internasional dapat memainkan peran pendukungnya: membangun ketahanan kesehatan untuk semua. Hal ini cukup menggelitik karena kata investor identik dengan kapitalisasi kesehatan.

Dalam tulisan tersebut, Menkes menyatakan bahwa Undang-undang baru ini akan memungkinkan sistem kesehatan memberikan insentif dan panduan yang lebih baik untuk mendukung peningkatan akses dan peluang investasi bagi perusahaan kesehatan yang inovatif. Rencana rinci mengenai insentif ini masih dalam tahap persiapan, namun setelah diterapkan, diharapkan akan tersedia lebih banyak obat-obatan berkualitas tinggi dengan harga terjangkau melalui sistem asuransi nasional. Ini akan menjadi peluang yang saling menguntungkan bagi investor dan Indonesia.

Para penulis opini pun berharap pemerintah berhati-hati dalam hal ini dan memprioritaskan investor lokal dalam hal insentif fiskal maupun non fiskal karena bagaimanapun adanya investasi (swasta atau asing) akan mengurangi kedaulatan pemerintah. Tetapi memang Budi juga mengatakan bahwa rincian mengenai investasi bagi perusahaan kesehatan sedang dipersiapkan. Investasi dalam kesehatan seperti pembangunan rumah sakit umum ataupun rumah sakit khusus bertaraf internasional yang memberikan layanan medis bermutu jika dilakukan oleh pengusaha lokal tentunya diharapkan akan mengurangi keinginan masyarakat berobat keluar negeri.

Indonesia sendiri masih sangat kekurangan dokter umum dan dokter spesialis. Dalam tulisannya, Menkes menyatakan saat ini, Indonesia memiliki satu ahli jantung untuk setiap 250.000 penduduk dibandingkan dengan Inggris yang memiliki satu ahli jantung untuk setiap 20.600 penduduk.

UU Kesehatan mencantumkan di Pasal 187, Pasal 209, dan Pasal 233 mengenai Rumah Sakit Pendidikan. Rumah Sakit Pendidikan dapat menyelenggarakan program spesialis/sbuspesialis berdasar izin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan peserta didik tenaga spesialis/subspesialis dapat diberdayakan. Ini adalah upaya pemerataan pelayanan medik spesialis.

Mengenai Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP), Pasal 264 ayat (1) sampai ayat (6). Menyatakan bahwa STR diterbitkan Konsil atas nama Menkes dan berlaku seumur hidup, dan SIP diberikan oleh Pemda atau Menkes pada kondisi tertentu tanpa memerlukan rekomendasi organisasi profesi. Sebelumnya untuk mendapatkan SIP, seorang dokter harus mendapatkan rekomendasi dari IDI di Pasal 38 UU No. 29 Tahun 2004. Sementara pemerintah melihatnya sebagai penyederhanaan perijinan bagi dokter dan dokter spesialis sehingga memudahkan dokter untuk berpraktik (semakin banyak dokter dan dokter spesialis berpraktik, semakin besar rasio dokter terhadap jumlah penduduk dan target rasio ideal akan semakin cepat tercapai), tetapi di sisi lain, ada pendapat bahwa hal ini meminggirkan/mengecilkan peran organisasi profesi padahal organisasi profesi IDI selama ini berperan sebagai mitra pemerintah dalam hal kesehatan. Antara lain untuk mengatasi kurangnya akses ke layanan primer (puskesmas), kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit (RS), SDM kesehatan yang masih kurang dan tidak merata.

Hal lain yang tampaknya menjadi kekhawatiran para tenaga medis dan tenaga kesehatan Pasal 440 UU Kesehatan, isinya berkenaan bahwa tenaga medis atau tenaga kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari Majelis. Pasal ini memungkinkan pasien untuk mengadukan tenaga medis atau tenaga kesehatan bila diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam melaksanakan layanan kesehatan dan dapat dikenai sangksi pidana dengan terlebih dahulu diputuskan oleh Majelis apakah tindakan tersebut masuk ke dalam 'kelalaian'. Hal ini belum mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum khususnya bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Wahyu Andrianto, seorang Dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam tulisannya mengenai UU Kesehatan ini, mengusulkan semacam Badan Peradilan Khusus Profesi Medis dan Kesehatan dengan Sumber Daya Manusia dan regulasi yang mampu memilah, memahami serta menganalisis aspek hukum bagi profesi medis, agar tidak tumpang tindih dengan aspek disiplin maupun aspek etika. Pembentukan "Badan Peradilan Khusus" ini wajib mendasarkan pada Undang-Undang. Hakim-hakimnya dapat berasal dari unsur-unsur yang berlatar belakang hukum dan non hukum.

Tentu dalam tulisan ini tidak semua masalah implementasi dan usulan pelaksanaan UU Kesehatan bisa terbahas di sini. Tulisan-tulisan di atas pun masihlah berupa sapuan-sapuan sketsa yang memerlukan penjabaran lebih mendalam, tetapi dalam kaitannya dengan penerbitan UU Kesehatan dalam rangka mereformasi sistem kesehatan Indonesia, maka dalam implementasinya, Pemerintah harus melihat ini sebagai gambaran besar yang mencakup reformasi pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk mencapai rasio ideal antara tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan jumlah rakyat Indonesia, tidak hanya itu, sebaran tenaga medis dan tenaga kesehatan pun tidak lagi melimpah hanya di bagian negara tertentu saja, melainkan kelimpahan ini bisa mencapai seluruh pelosok Indonesia.

Belajar dari pandemik yang baru lewat, tentunya riset untuk vaksin, pengobatan garda depan, dukungan produksi alat kesehatan yang memadai dan sediaan farmasi, dan pengembangan teknologi harus sudah disiapkan untuk menghadapi kemungkinan terburuk seperi pandemik berikutnya, sistem informasi kesehatan yang terintegrasi, dan kewenangan penuh dikembalikan kepada Pemerintah untuk segala regulasi terkait kesehatan.

Untuk mencapai tujuan pertahanan kesehatan untuk semua, walau bertabrakan dan penuh wacana tetapi strategi yang diambil adalah pemikiran untuk kemaslahatan bersama, melalui kaum bijak bestari yang ahli di bidang masing-masing, masyarakat urun rembug dan pemerintah harus arif bijaksana mendengarkan suara-suara ini.

Sekali lagi, hukum yang ada haruslah memiliki nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Bagaimanapun implementasi dan strategi yang dipilih, sekali lagi selaku pemegang kartu BPJS, kami selalu berdoa bahwa implikasinya bagi kami adalah iuran BPJS tidak naik, fasilitas kesehatan yang sudah ada akan lebih baik dan lebih murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun