Setelah itu tak ada jawaban.
"Harisa," panggil Ayala.
"Harisa Ayala," ia memanggil kembali.
Gemerisik sinyal terdengar di telepon genggam Ayala, sesaat kemudian sosok Harisa muncul di layar telepon Ayala. Tetapi ada yang salah dengan gambar itu. Terlalu elektrik. Terlalu transparan.
"Aku hologram yang deprogram Harisa. Terbangkit secara otomatis ketika denyut jantung Harisa berhenti. Jasad renik itu menginfeksi seluruh peneliti beberapa saat sebelum nanopartikel itu selesai dibuat. Waktu inkubasi sudah terlewati dan semua mati. Tetapi nanopartikel dalam jumlah yang cukup untuk disebarkan ke seluruh planet kini sudah selesai dibuat. Harisa memprogramku untuk menyelesaikan pembuatan nanopartikel itu. Ayah Harisa, kau harus meledakkan gudang penyimpanan nanopartikel supaya nanopartikel itu bisa terbawa siklon Fatima. Tak ada waktu lagi. Atau kita harus menunggu sejuta tahun lagi."
Teleponnya mati. Sepersekian detik kemudian Letnan Diaz seperti mendobrak pintu saja.
"Kolonel," katanya, dengan wajah sepucat mayat .
"Siapkan helikopter, Letnan, kau tahu bom apa yang harus kita bawa. Lengkapi. Aku menunggang helikopter bersamamu."
Letnan Diaz masih terdiam.
"Itu perintah, Letnan," bentak Ayala.
Helikopter mengudara sementara tampak siklon Fatima mulai bangkit ditandai dengan gangguan sinyal radio, helikopter Ayala dan Diaz bergegas ke fasilitas penelitian tempat Harisa. Penembak mengkonfirmasi target untuk menjatuhkan bom dan kemudian mereka menunggu persetujuan Ayala.