Mohon tunggu...
Dinar Rahaju Pudjiastuty
Dinar Rahaju Pudjiastuty Mohon Tunggu... Lainnya - menulis fiksi dan non fiksi

Beberapa karya fiksi berbentuk cerita pendek bisa dilihat di berbagai koran. Menerjemahkan. Menulis non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jangan Cepat Melupakan Covid-19 Selintas tentang Tren Penanganan Wabah

6 Juli 2023   13:49 Diperbarui: 6 Juli 2023   13:59 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Sehat. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memasuki Bulan Juli, media massa diramaikan oleh adanya kasus terjangkitnya Anthrax di daerah Desa Jati, Kelurahan Candirejo, Kapenawon Semono, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Bulan Juni kemarin, ada warga yang meninggal dengan gejala infeksi bakteri Anthrax (Bacillus anthracis) dan puluhan lainnya mengalami sakit dengan gejala yang sama. Gejala Anthrax yang khas adalah lebam kehitaman pada kulit, ruam, demam, sakit kepala, batuk.

Kecurigaan mengarah kepada konsumsi daging sapi yang tidak lolos uji kesehatan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan menduga tradisi mbrandu yaitu warga 'gotong royong' membeli daging ternak yang mati menjadi penyebabnya. Tradisi ini dimaksudkan menolong peternak yang ternaknya mati. Warga membeli paket daging dengan harga murah, dan hasil penjualan diberikan kepada peternak.

Adalah sikap tolong-menolong ini yang harus disertai pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit hewan yang memadai. Bahwa ternak yang tiba-tiba mati pastilah ada sebabnya dan harus segera lapor ke dinas peternakan. Dalam menangani ini perangkat desa dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Ternak, Kementrian Kesehatan dan Satgas One Health sudah melakukan gerak cepat deteksi dan manajemen pencegahan penularan. Koordinasi dan sinkronisasi keseluruhan pihak terkait dan warga desa adalah kunci.

Daerah Gunung Kidul juga disebut daerah endemik kejadian berjangkitnya Anthrax. Dari sisi terminologi, beberapa istilah memang berubah seiring dengan waktu. Istilah endemik, wabah (outbreak), epidemik, dan pandemik menunjukkan seberapa seringnya dan dalam konteks geografi seperti apa suatu penyakit terjadi di suatu waktu, dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Istilah-istilah ini sekarang tidak melulu merujuk pada penyakit infeksi, tetapi kondisi seperti kanker, darah tinggi juga bisa menggunakan istilah ini ketika dianggap memengaruhi warga di suatu kawasan. Endemik terjadi di warga di kawasan yang sama secara berulang, kawasan tersebut bisa desa, kota, negara, ataupun benua. Sementara wabah adalah kenaikan jumlah orang yang sakit atau munculnya kasus yang tidak terantisipasi si kawasan baru, sedangkan epidemik adalah wabah penyakit yang secara geografis menyebar lebih dari yang diantisipasi oleh skala endemik, dan yang baru lalu, yaitu pandemik adalah epidemik yang menyebar di lebih dari satu benua.

Dalam sejarahnya, kita mengalami banyak wabah dalam konteks secara umum yang artinya ada penyakit yang berjangkit di suatu kawasan dan menelan banyak korban, kemudian penyakit itu bergerak ke beberapa negara atau benua.

Yang terkenal tentu Maut Hitam atau Black Death, pandemik yang terjadi di tahun 1346 sampai 1353 di Eropa, Asia, dan Afrika. Merupakan pandemik paling fatal yang ada di sejarah manusia dengan kematian sekitar 200 juta orang. Ini adalah penyakit yang berasal dari pinjal pada tikus liar. Ini tampaknya pandemik simultan tiga penyakit karena ada yang bergejala Bubonik: yaitu demam tinggi, plague syok ketika darah sudah sangat beracun: yaitu keracunan darah dengan tanda kebiruan dan jaringan mati di hidung, telinga, dan anggota tubuh seperti tangan dan kaki, dan satu lagi adalah plague radang paru yang menular lewat udara yang menyebabkan batuk berdarah dan kematian.

Kemudian Severe Acute Respiratory Syndrome coronavirus (SARS-CoV), menyebabkan epidemik dari tahun 2002 sampai 2003. Epidemik ini bermula di Provinsi Guangdong, Cina dan bergerak ke 29 negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia. Inang perantara adalah kelelawar, musang, dan rakun.  Tetapi karena pengetahuan penangnan wabah dan penyakit sudah maju, dalam jangka waktu tujuh bulan sudah berakhir karena virus segera diidentifikasi, kasus-kasus diisolasi dan pelacakan kontak.

Coronavirus Disease 19 (Covid-19) yang baru lalu menyebabkan demam, keletihan, batuk berdahak, tidak bisa bernafas, sakit kepala, tidak bisa mencium baud an radang tenggorokan. Kasus parah ketika fejala ini berkomplikasi dengan gagal nafas, gagal jantung, dan kejutan keracunan darah. Kasus pertama terkonfirmasi oleh WHO pada 31 Desember, 2019 di Wuhan, Cina dan ditetapkan sebagai pandemik pada 11 Maret, 2020. Virus ini juga diduga berasal dari Provinsi Wuhan, Cina, dan diperkirakan berasal dari hewan (zoonotic) dari pasar Huanan yang menjual makanan laut, ular, kelelawar, dan banyak hewan liar lainnya.

Ada banyak penyebab pandemik ini. Perubahan iklim memberikan akibat yang nyata karena infeksi atau perpindahan virus atau bakteri dari binatang ke manusia sangat dipengaruhi lingkungan. Meningkatnya ekspansi manusia dengan membuka lahan untuk perkebunan, lahan gembala, pertambangan, adalah dengan sendirinya memaparkan manusia pada lingkungan yang benar-benar tidak diketahui komposisinya. Ketika membuka lahan dan berinteraksi dengan hewan yang tadinya hidup nyaris terisolasi dari manusia, maka ada berbagai jasad renik tak nampak yang tadinya hidup di hewan tersebut berpindah ke manuisa. Jasad renik tersebut bisa saja tidak menimbulkan penyakit fatal pada hewan tetapi bisa seketika menyebabkan kematian pada manusia. Distribusi pembawa penyakit ini pun bisa seperti reaksi rantai karena mobilitas manusia kini semakin cepat. Manusia dari daerah pembukaan lahan, bisa dengan cepat menggunakan transportasi berpindah kota, berpindah kawasan, bahkan lintas benua.

Selanjutnya, resistensi terhadap antimikroba juga menyumbang potensi pandemik di masa depan. Skenario yang lebih murah adalah potensi penggunaan mikroorganisme sebagai senjata biologi.

Dan tentunya tenaga kesehatan yang terbatas dan sistem kesehatan yang tidak siap untuk menahan penyebaran penyakit menjadi faktor juga. Terbatasnya sarana kesehatan tentu menyebabkan pandemik menjadi ancaman. Tingkat kematian jadi tinggi karena akses terhadap sarana kesehatan terbatas dan ada skala prioritas. Belum lagi sifat kita yang selalu menggeser setiap kejadian kea rah isu politik. Sementara akibat pandemik dari sisi ekonomi dan sosial sudah jelas nyata.

Tetapi pandemik juga sudah memberikan umpan balik kepada manusia untuk selalu berusaha memitigasi efek ini, melakukan tindakan manajemen untuk menyiapkan diri terhadap pandemik ini.

Manajemen penanganan pandemik yang utama adalah dua, yaitu karantina dan vaksinasi.

Karantina, berdasar dari kata quarantine, dari Bahasa Italia, berdasarkan seorang dokter di Ragusa, Italia, yang membangun batas pasien di suatu kota untuk berkegiatan. Ia mengisolasi pasien terinfeksi selama 30 hari (trentine) yang kemudian diikuti perpanjangan sampai 40 hari (quarantine). Ide karantina pun muncul. Penelitian menunjukkan bahwa karantina dan kasus suspek menentukan kecenderukan suatu kejadian epidemik. Puncak epidemik dimulai dengan fasa tidak terjadi penambahan jumlah suspek yang dikarantina. Artinya ketika jumlah pasien yang dikarantina dinyatakan tetap untuk jangka waktu tertentu, kita bisa berharap epidemik mulai melandai, mulai menghilang, ini artinya manajemen penanganan wabah dalam bentuk karantina sudah berhasil.

Cara manajemen pandemik yang kedua adalah vaksinasi. Cina dan India tercatat adalah yang pertama melakukan imunisasi aktif dengan menyuntikan variola (penyebab cacar) ke orang yang sehat untuk mencegah infeksi cacar itu sendiri. Hal ini kemudian diikuti oleh Edward Jenner, Louis Pasteur, Calmette, dan Geurin dalam perkembangan vaksin. Dimulailah evolusi vaksin. Hal ini berdasarkan sifat standar seperti diketahui asal usul penyebab penyakit, cara penularan, bagaimana membangkitkan respon kekebalan yang memadai dan bagaimana membangkitkan kekebalan jangka panjang, uji klinis, pemilihan jenis vaksin dan dosis .

Di abad informasi ini, data real-time sudah banyak tersedia yang menjelaskan perkembangan pandemik, deteksi, monitoring, analisis dan tindakan korektif dan perencanaan pengaturan manajemen jika terjadi pandemik berikutnya. Bila teknologi yang ada sukses diaplikasikan, maka beban tenaga kesehatan akan berkurang karena sokongan sarana fisik rumah sakit yang sudah canggih yang memungkinkan diagnosis cepat dan pengobatannya. One Health, suatu organisasi antar disiplin, sudah mewanti-wanti negara-negara di dunia harus melalukan pendekatan proaktif untuk meningkatkan pencegahan dan meningkatkan kesiapan jika terjadi lagi pandemik dengan meningkatkan koordinasi di semua sektor. Jika memungkinkan, mendeteksi virus di sumbernya sehingga bisa melakukan intervensi sebelum terjadi penyebaran. One Health terdiri dari dokter hewan, ahli lingkungan, berbagai ahli kedokteran, dan lainnya bekerja untuk mengembangkan alat pelacakan kontak dan sudah mengembangkan gawai yang berbasis nirkabel. Sudah dikembangkan alat yang disebut Easyband yang akan mengingatkan pengguna bila berada dekat orang yang terinfeksi sehingga kontak bisa dihindari. Fitur lainnya adalah daftar kontak, display laju infeksi di lokasi orang tersebut berada, bahkan sampai bisa merekomendasikan isolasi mandiri. Semoga kita semua selamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun