Kisah para penjaga konstitusi ini, barangkali sedikit banyak lebih kepada jatuh bangunnya lembaga penjaga dan pelindung konstitusi kami. Konstitusi kami adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kami punya banyak catatan kelam dalam kehidupan bernegara ini, salah satunya adalah kenyataan bahwa selama 32 tahun kami mengalami kemandegan dan mengkhianati arti demokrasi. Titik puncaknya adalah di tahun 1998. Peristiwa yang mengiris segala lapisan masyarakat dari atas ke bawah itu sangatlah menyakitkan, meninggalkan duka dan mimpi buruk.
Tetapi seluruh warga negara mengumpulkan kekuatan dan melanjutkan kisah negara demokrasi ini. Tanpa meninggalkan konstitusi yang telah kami sepakati dulu. Para negarawan kami bersepakat untuk memperbaikinya, mengubahnya di sana-sini agar lebih baik, istilahnya adalah konstitusi kami diamandemen. Empat kali konstitusi diamandemen. Untuk menegakkan hak asasi manusia dan demokrasi kembali maka kami perlu Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Di amandemen ketiga lahirlah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tepatnya 13 Agustus 2003. Lembaga ini adalah tameng raksasa, pelindung kami supaya konstitusi diterapkan secara benar dan adil, DPR dan Presiden tidak sewenang-wenang membuat undang-undang tanpa melibatkan kami, we the people. Karena partisipasi bernegara adalah hak kami.
Datanglah ke Mahkamah Konstitusi jika dirasa ada hak yang sebenarnya tercantum di konstitusi, tetapi pada kenyataannya terlanggar. Niscaya sembilan hakim MK akan menimbang kasus seadil-adilnya tanpa memandang wujud. Hak inklusif bernegara sesiapapun warga Indonesia akan diberikan. Mereka adalah perwujudan Dewi Keadilan dengan mata tertutup yang berarti tidak akan membeda-bedakan status kedudukan sesiapapun dalam hak dan kewajiban bernegara, berbekal timbangan yang adil dan sebilah pedang tajam yang membedakan antara yang konstitusional dengan yang tidak berlandaskan konstitusi.
Di pundak mereka, sembilan hakim ini, kami titipkan keadilan dalam bernegara. Sudah lebih dari dua ribuan perkara yang berhubungan dengan konstitusi dan ketatanegaraan diselesaikan oleh para hakim di lembaga ini. Melalui keputusan-keputusannya, MK mempertahankan harmoni di sistem legal ini, menjamin pelaksanaannya sesuai dengan batas-batas yang dimandatkan oleh Konstitusi kami.
Tetapi manusia adalah makhluk yang selalu didera dengan cobaan dan godaan. Hakim-hakim kami pun tak luput dari itu. Ada nama Akil Mochtar yang terlibat korupsi dan Patrialis Akbar yang terlibat kasus suap yang mengguncang pilar-pilar keadilan ini. Bagi kami, akibatnya adalah krisis. Kami dilanda ketakutan kembali. Kami terlena karena menyangka lembaga ini lembaga yang tidak akan tergerogoti sifat buruk manusia. Sejurus kami kehilangan kepercayaan. Dalam tujuh bulan, kepercayaan terhadap supremasi lembaga ini turun hanya tinggal 30 persen dalam arti dari seratus kami, hanya tiga puluh orang saja yang masih mempercayai lembaga ini.
Apa yang harus kami lakukan? Haruskan lembaga ini dibubarkan, pilar-pilarnya kami robohkan satu persatu? Para akademisi, para pemerhati masalah bernegara, dan segenap kami pun mencurahkan pemikirannya. Ada banyak memang persoalan tetapi tentunya bukan berarti tidak ada harapan. Teringat pada Guci Pandora bahwa walaupun banyak sekali masalah yang ditimbulkan, tetapi harapan selalu ada. Bergantung cara kita melihatnya.
Para cerdik cendikia menyumbangkan pemikirannya, salah satunya adalah ada baiknya kita berkaca, bersanding, berbanding dengan lembaga setara Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain yang juga sedang menapaki kehidupan di dunia ini dengan hati-hati. Seturut Muhamad Zaky, alumnus Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam artikel ilmiahnya ia menyatakan bahwa dari hasil analisis perbandingan antara Mahkamah Konstitusi Federal Jerman dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman memiliki kewenangan yang lebih terbatas dibanding Mahkamah Konstitusi Indonesia.
Namun, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman memiliki kekuatan hukum yang sangat besar. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman bisa membuat undang-undang. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi Indonesia hanya memiliki kewenangan represif. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hanya dapat membatalkan undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 apabila undang-undang tersebut telah disahkan.
Seturut Lintje Anna Marpaung, dari Fakultas Hukum Bandar Lampung: Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia memiliki sembilan belas hakim. Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia adalah pengadilan dengan subjek yurisdiksi terbatas. UUD Rusia 1993 menggunakan mahkamah konstitusi untuk menghentikan benturan antara eksekutif dan legislatif cabang dan antara Moskow dan pemerintah daerah dan lokal.