[caption caption="Relawan Sokola Rimba di Belantara Papua. Photo by National Geographic."][/caption]"Bergerak dengan hati", begitu kutipan kata mutiara yang saya masih ingat jelas setelah kemarin bertemu dengan salah satu mantan pengajar muda dari Gerakan Indonesia Mengajar. Frasa itu begitu sakti menggetarkan hati saya. Apalagi diucapkan oleh seorang yang sangat menginspirasi.
Pertemuan saya dengan mantan pengajar muda tersebut adalah dalam rangka memberikan pelatihan kepada para relawan muda yang akan diterjunkan di salah satu wilayah binaan di Jogjakarta. Semangat para relawan muda dalam acara tersebut begitu menggebu, sampai saya geleng-geleng kepala. Motivasi mereka beragam, tapi saya bisa simpulkan bahwa mereka semua punya keinginan untuk berbagi. Bukan kali ini saja saya melihat semangat cinta sesama yang ditunjukkan para pemuda.
Di Jakarta, setelah terlibat beberapa lama dengan satu komunitas kesukarelawanan, saya juga bertemu pemuda-pemuda luar biasa yang peduli sesama. Luar biasa karena di tengah kesibukan, mereka secara sukarela mau berbagi ilmu dan pengalaman dengan orang yang bahkan mereka tidak kenal sebelumnya.
Begitulah sedikit gambaran bagaimana saya menjadi saksi luar biasanya pemuda Indonesia saat ini. Beberapa tahun belakangan, pemuda mulai menggeser pemaknaan dari gerakan sosial. Bila sampai 10 tahun pasca reformasi, pemuda masih asik berdemonstrasi, saat ini mereka lebih memilih pergi ke desa-desa membantu saudara sebangsanya. Semakin sedikit mahasiswa yang berperang ideologi, sebaliknya semakin banyak pemuda yang punya semangat berbagi. Sudah tidak lagi saya temui ban-ban dibakar di jalan raya karena pemuda punya pikiran semakin terbuka.
Peran dan potensi para relawan muda ini sungguh besar. Melalui pemahaman dan penjangkauan di tingkat akar rumput, mereka mampu mengidentifikasi langsung masalah-masalah masyarakat paling bawah. Dari situ, mereka dapat memberikan solusi taktis, sekaligus praktis terhadap kebutuhan masyarakat. Mereka juga cenderung lebih kreatif dalam mencari jalan keluar karena akses mereka yang baik terhadap akses informasi dan kemajuan teknologi.
Namun demikian, beberapa hal perlu diperhatikan dari semakin maraknya volunteerisme yang menjangkiti anak muda ini. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah masalah pengorganisasian. Gerakan kesukarelawanan bukan berarti gerakan suka-suka. Pemuda yang punya inisiasi, harus tahu bagaimana nantinya proses finalisasi.
Mereka harus punya tujuan dan sasaran yang jelas dalam gerakan yang mereka lakukan. Tujuan-tujuan itu juga harus dapat diukur dengan indikator-indikator yang feasible. Mereka juga harus punya langkah-langkah teratur untuk mencapai tujuannya. Relawan tidak bisa suka-suka datang dan pergi meninggalkan langkah yang telah dirintisnya.
Kedua, masalah keberlanjutan. Para sukarelawan harus menetapkan sejauh mana suatu goal akan dicapai, dan tantangan apa yang mungkin dihadapi selama masa intervensi mereka. Saya teringat pernyataan teman saya bahwa dalam melakukan intervensi sosial, kita tidak boleh menempatkan masyarakat dalam resiko. Artinya, upaya pemberdayaan yang kita lakukan harus terjamin keberlanjutannya ke depan dengan didukung berbagai faktor yang kita telah identifikasi sebelumnya, sehingga masyarakat dapat berdaya pada akhirnya.
Bukan terus menerus bergantung pada kehadiran kita. Oleh karena itu sangat penting melakukan identifikasi masalah, menetapkan tujuan dan kegiatan, serta mengenali peluang dan tantangan secara partisipatif.
Ketiga, masalah kolaborasi. Tumpang tindih kegiatan ataupun sasaran dalam kegiatan kesukarelawanan dapat dihindari dengan semangat kolaborasi. Namun, kemampuan berjejaring ini yang kurang dimiliki oleh banyak anak muda. Mereka cenderung sibuk dengan peer group-nya saja, padahal dengan berjejaring dalam hal melakukan kegiatan kesukarelawanan, kesempatan untuk memperoleh social impact yang lebih baik sangat terbuka lebar. Kadang juga, kemampuan berjejaring dihalangi oleh ego masing-masing. Jangan sampai kegiatan volunteerisme menjadi ajang kompetisi untuk saling dibanggakan.
Menjamurnya gerakan-gerakan sosial yang diinisiasi anak muda dapat menjadi peluang kemajuan bangsa. Memasuki era dipetiknya bonus demografi, apabila semangat kesukarelawanan terus dipelihara, peluang pembangunan semakin besar. Prinsip pemerataan dan pengurangan kesenjangan dapat dimulai dengan menjadikan kesukarelawanan anak muda sebagai modal pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H