Aku masih mengingat di malam-malam yang sunyi, ketika dunia di luar rumah terlihat gelap dan udara dingin merayap masuk ke setiap celah dinding rumah kami, aku selalu terjaga oleh suara langkah kaki ayah yang berat. Tak ada suara percakapan, tak ada tawa riang seperti di rumah-rumah lain, hanya hembusan angin yang menambah kesunyian malam ini. Aku tahu, ayah sedang kembali dari ladang. Matahari baru saja terbenam, dan ia baru pulang setelah seharian bekerja keras.
Aku, yang saat itu masih kanak-kanak, hanya bisa duduk dan melihat. Wajahnya yang kasar dan penuh kerutan menunjukkan betapa kerasnya kehidupan yang ia jalani. Tapi meski begitu, di balik wajah yang penuh lelah, ada keteguhan yang tak tergoyahkan. Ayahku, dengan segala perjuangannya, adalah sosok yang tak pernah mengeluh, bahkan ketika dunia tampaknya tidak adil baginya.
Ayahku, Arman, adalah seorang petani. Tidak ada yang istimewa dari pekerjaan itu hanya tanah, parang, dan matahari yang terkadang terlalu terik atau hujan yang datang tiba-tiba, tapi bagi kami itu adalah segalanya. Ayah membanting tulang setiap hari di sawah, berusaha memenuhi kebutuhan kami yang sederhana. Rumah kami terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk, dengan atap yang bocor jika hujan turun deras. Kami tinggal di desa yang lumayan jauh dari perkotaan. Kami tak pernah merasa malu dengan keadaan kami, karena ayah selalu berkata, "Yang penting kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan berusaha. Semua yang baik akan datang pada waktunya."
Pagi itu, seperti biasa, aku bergegas menuju meja makan. Di sana, ayahku, Â sudah duduk dengan senyum khasnya yang hangat. Meskipun tubuhnya sudah semakin renta, tetapi semangatnya untuk menghidupi keluarga tetap tak pernah hilang. Di meja makan ada sepiring nasi goreng dan teh buatan ibu yang sudah jadi kesukaan aku dan ayah setiap pagi. Aku belum selesai menghabiskan makananku tetapi ayah sudah bergegas pergi ke sawah untuk bekerja, "apa ayah harus berangkat sepagi ini?", "iya nak, berangkat pagi bisa mempercepat waktu ayah untuk pulang" jawab ayahku. Setiap hari ia melakukan rutinitas tersebut tanpa ada kata lelah.Â
Namun, keadaan tak selalu berpihak kepada kami. Musim kemarau yang panjang membuat hasil panen kami menurun drastis. Tanah yang sebelumnya subur kini mengering, dan tanaman padi yang kami tanam tak mampu bertahan. Meskipun telah bekerja keras, hasil yang kami dapatkan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Aku masih ingat bagaimana ibu dan ayah harus berhemat, mengurangi makanan, dan menggantinya dengan sayuran dari kebun kecil kami.
Saat itu, aku merasa cemas. Usia ayah sudah tidak muda lagi, dan tubuhnya yang dulu kekar kini semakin rapuh. Aku sering melihatnya pulang dengan tubuh penuh keringat dan wajah yang tampak letih. Namun, meskipun keadaan semakin sulit, ayah tak pernah mengeluh. Ia hanya tersenyum, meski senyum itu terasa dipaksakan. Aku tahu ia ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya, tapi bagaimanapun, keadaan yang tidak diinginkan pasti akan datang.
Setiap pagi, sebelum matahari muncul, ayah sudah bangun lebih dulu. Ia menyusun peralatan bertani dan berangkat ke ladang. Kadang aku ingin ikut membantu, tapi ayah selalu berkata, "Belajarlah dengan rajin, nak. Nanti kamu akan mengerti betapa pentingnya pendidikan." Aku tahu, meskipun ayah tidak bisa memberikan banyak hal secara materi, ia ingin aku mendapatkan pendidikan yang lebih baik, supaya aku tidak merasakan hidup yang sama seperti yang ia jalani.
Tahun demi tahun berlalu, dan meskipun kami tidak pernah kaya, aku merasa cukup bahagia. Kami masih memiliki rumah, meski kecil. Kami masih makan tiga kali sehari, meski terkadang hanya nasi dan lauk seadanya. Namun, di balik kebahagiaan sederhana itu, aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Ayahku semakin tua, dan aku bisa melihat tubuhnya semakin rapuh. Ada garis-garis keriput yang semakin jelas di wajahnya, dan tubuhnya yang dulu kuat kini tak lagi mampu menanggung beban yang berat.
Namun, ayah tetap bekerja tanpa lelah. Aku tahu ia tak menginginkan pujian atau imbalan. Bagi ayah, bekerja keras adalah kewajiban. Ia tak pernah minta lebih dari yang ia lakukan. Bahkan, jika ada orang yang menanyakan tentangnya, ia hanya tersenyum dan berkata, "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan." Tidak ada kata-kata besar atau harapan tinggi. Semua dilakukan dengan sederhana dan penuh ketulusan.
Pada suatu hari, ketika aku sudah mulai duduk di bangku SMA, keadaan semakin sulit. Tanah yang kami miliki semakin tidak subur, dan hasil panen tak pernah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ayah semakin lelah, dan aku bisa melihat betapa berat perjuangan yang ia jalani. Aku ingin membantu, ingin meringankan beban ayah, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku masih muda, aku masih harus belajar.
Suatu malam, setelah aku selesai belajar, aku duduk bersama ayah di ruang tamu. Kami hanya duduk diam, memandang api di perapian yang mulai meredup. Saat itu, ayah mulai bercerita dengan suara pelan, seperti ada sesuatu yang ingin ia bagi.