Mohon tunggu...
Dinar Fitra Maghiszha
Dinar Fitra Maghiszha Mohon Tunggu... Multi-tasker, Part-time Writer, Backpacker | History Grad -

Mari saling berbagi dan mengingatkan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sepenggal Batari dan Bahasan tentang Tubuh dalam "Tiba Sebelum Berangkat"nya Faisal Oddang

1 Desember 2018   14:33 Diperbarui: 2 Desember 2018   11:45 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Saat paling bahagia di waktu libur adalah membaca. Aktivitas ini laksana memegang piring kosong lalu berjalan menuju kotak-kotak sajian makanan. Kita bisa memilih mana yang kita ingin tempatkan dalam piring kita yang kosong. Tentu, piringnya harus kosong.

Persoalan membaca saja lalu puas setelahnya, tak pernah sungguh memberi kepuasan membaca. Seperti meminum segelas air mineral lalu diam berangan-angan dan yakin akan terjadi sesuatu dari airnya. Ahh sepertinya ada yang kurang. Itulah yang saya rasakan saat mendapatkan novel ini dari teman yang bernama …., (ahh baiknya tidak saya sebut saja). Intinya ada teman perempuan yang memberi novel ini sebagai hadiah. Sudah.

Tentang Batari

Batari adalah seorang perempuan dewasa yang dibesarkan dalam adat. Saat kujumpainya dalam “Tiba Sebelum Berangkat” karya Faisal Oddang, ia adalah keponakan Puang (seorang tetua-lelaki setempat) yang dalam praktik spiritualnya sering tidur dan mendapat kepuasan dengan Mapata, yang merupakan teman laki-laki Batari saat di SD. “Ada setan perempuan” dalam tubuh Mapata, menurut propaganda Sukeri yang membentuk orientasi seksual Mapata. Saat kecil, dalam upacara bendera, Mapata pernah bersembunyi di belakang ladang jagung, tak sengaja bertemu dengan Batari, ia menanyakan namanya siapa dan anak siapa, kemudian tiba-tiba mencium pipinya dan lari. Ia melakukan itu semata untuk membuktikan kepada Sukeri (ayahnya yang lain) bahwa setan perempuan di tubuh Mapata adalah salah. Ciuman itu adalah pembuktian untuk menguji bahwa mencium perempuan adalah yang ia sukai dibanding bersentuh dan bersetubuh dengan lelaki. Mapata sendiri tetap lebih nyaman bersentuhan dan berhubungan badan dengan lelaki. Hal itu lebih memuaskan dirinya daripada perlakuan perempuan terhadap tubuhnya. Saat bertemu kembali selepas dewasa di rumah Puang, keduanya (Batari dan Mapata) berjalan-jalan dan bercerita banyak. Keinginan Batari untuk menyembuhkan Mapata (yang dianggap sakit oleh Batari) menjadi fase yang menarik dalam penceritaan tentang tubuh dan orientasi seksual.

Bahasan tentang tubuh

Dalam urusan keperawanan, Batari tidak benar-benar mau menempatkan konsep perawan pada batasan yang begitu kaku. Baginya, tubuh dan keinginan adalah bagian dari hak. Cinta dan hasratnya pada Mapata hadir saat ia ingin membantunya menyingkirkan setan perempuan dalam tubuh Mapata yang kerap kali menuruti dan memuaskan hasratnya pada Puang dan berlanjut pada para pelanggan Salon Laelanya yang semuanya laki-laki. Batari benar-benar mengapresiasi ketiadaan hasrat pada perempuan yang dimiliki Mapata. Walau bukan suami ataupun pacar, saat penis Mapata lembek seperti es lilin, Batari tetap menggangap lidah Mapata sebagai suatu yang berharga yang digambarkan oleh Faisal begitu menarik bahwa dengan lidahnya saja bahkan sampai “dapat mengangkat pinggulnya”.

Namun demikian, kepuasan menggunakan penis, masih menjadi hal yang niscaya bagi kepuasan Batari. Tentu ia dapatkan itu dari lelaki lain yang membayar setelahnya, selain untuk kepuasan juga untuk menyambung hidupnya bersama Mapata. Sedangkan Mapata dengan bisnis salonnya, ia puaskan laki-laki juga, namun Mapata yang bayar. Keduanya bergantian mencari kepuasan. Keduanya saling memuaskan walau jarang bahkan tidak puas saat bersentuhan. Penggambaran ini cukup menarik menurut saya karena proses ini dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak tentang “bagaimana mendapatkan kepuasan seks” yang di sebagian besar daerah masih merupakan hal yang tabu untuk mendiskusikan dan membicarakannya. Menggambarkan kesepakatan ini dituliskan dengan menarik, manis dan kadang lucu.

Di perjumpaan yang pertama setelah dewasa, Mapata jelas tahu bahwa Batari menyukainya. Tetapi ia susah untuk merespon balik cintanya. Ia berharap kepada Batari justru agar ia tidak menyukainya, sehingga ia tidak punya beban untuk menyukainya juga. Kalimat “Cinta itu Tumbuh” begitu nyata saat rindu menjejali lamunan Mapata saat ia disekap dalam ruangan oleh pasukan gurilla. Ingatan akan Batari dan anaknya bersamaan dengan sakit luar biasa karena siksaan dan pelecehan verbal (re: bencong kau !!) oleh Ali dan teman-temannya kepada Mapata.

Cinta mereka tanpa syarat, bahkan pada persoalan tubuh sekalipun. Batari tahu kondisi seksual Mapata. Saat berjalan mereka berdua bercerita tentang masa lalu masing-masing. Batari rasanya ingin sekali membantu Mapata untuk keluar dari ikatan Puang. Batari begitu yakin dan sanggup membuktikan keraguannya dirinya dalam menjawab pertanyaan, “emang ada perempuan yang ingin mengambil lelaki sisa lelaki ?. Dalam suatu cerita, ia mengajak Mapata masuk kamar dan menelanjanginya. Tubuh Mapata dijelajahi oleh bibirnya, dari kepala hingga selangkangan. Ia berusaha untuk membuatnya berdiri. Namun usahanya tetap tak ada hasil yang dirasakan Mapata. “Lembek seperti es lilin”

Suatu percakapan yang menarik tentang otoritas tubuh digambarkan oleh Faisal Oddang dalam dialog Mapata-Batari. Saat Batari melakukan itu terhadapnya. Mapata bertanya sekaligus mempertanyakan;

“kenapa kau lakukan itu, apakah kau tak takut kehilangan kesucianmu?”.

Batari menimpali, “tau apa kau soal kesucian ?", aku memiliki hak penuh atas tubuh dan keinginanku. “Tidak ada yang dapat menaruh kuasa atas diri, tubuh dan sikapku”, begitu dalihnya. Batari menegaskan bahwa dia melakukannya untuk menyembuhkan Mapata. Dalam kalimat terakhir sebelum semua pakaiannya dipakai ia berkata;

“jangan sekali-kali berbicara soal kesucian tubuh seseorang jika pada tubuhmu sendiri kau tidak memahami apa-apa”

Namun demikian, Mapata punya argumen lain saat menilai Batari yang menurutnya sok tahu. Saat Batari meyakinkannya bahwa yg dilakukan hanyalah semata untuk menyembuhkan, Batari mempertanyakan sakitnya Mapata;

“Tidak menyukai perempuan, bagimu hal wajar?”.

Mapata menimpali, “Tentu wajar, karena kewajaran bagi hidup saya ukurannya tentu ada di diri saya”.

Batari sok paham atas sakit “tidak suka perempuan” milik Mapata. Sedangkan Mapata sok paham atas “batas kesucian” milik Batari. Digambarkan, bahwa keduanya begitu dini memberi justifikasi. Namun keduanya punya hak dan mau melakukan untuk itu. Mereka berdua mau melakukan sesuatu atas nilai yang saling mereka yakini. Nilai-nilai yang belum final tentang self genital.

Mereka juga manusia

Walau Batari telah terbebas dari pikirannya tentang tubuh dan otoritas, kemudian juga telah mau (digambarkan oleh F.O) melucuti pakaiannya sendiri tanpa diminta, bagaimanapun juga ia masih terpenjara dalam nilai – nilai kepasrahan “aku tak tahu harus bagaimana lagi” ataupun kalimat tanya yang membelenggu yang berbunyi “aku harus bagaimana ?”, untuk urusan-urusan lain di kepalanya.

Batari, perempuan yang pernah dibesarkan dalam suatu adat, yang juga tau-menahu tentang seluk-beluk tetuanya . Penceritaannya tentang dia adalah sepenggal kisah yang menarik dalam “Tiba Sebelum Berangkatnya” Faisal Oddang.

-

@dirghiz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun