Mohon tunggu...
Dinar Fitra Maghiszha
Dinar Fitra Maghiszha Mohon Tunggu... Multi-tasker, Part-time Writer, Backpacker | History Grad -

Mari saling berbagi dan mengingatkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memikirkan Ulang Pertanyaan "Cita-citamu Ingin Jadi Apa?"

13 Desember 2017   06:40 Diperbarui: 1 Desember 2018   14:20 7116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Shutterstock

Sejak kecil, semua manusia yang pernah mengenyam pendidikan atau tidak, sering atau jarang, sekali atau banyak, oleh siapa saja, pasti pernah ditanya, "Apa cita-cita kamu ?" Oleh orangtua, guru, teman, saudara dan lainnya, kita dikenalkan pertanyaan tersebut sejak lama dan di waktu kita kecil. Saat PAUD, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, atau setingkat pendidikan lainnya pasti pernah ditanya. Atau pada kondisi di mana seseorang tidak pernah ditanya oleh orang lain karena ia hidup sendiri, pasti ia pernah, sempat, bahkan dapat memikirkan cita-citanya.

Mereka semua yang bertanya pada kita pun dilatarbelakangi sebab pernah ditanya tentang hal itu sebelumnya. Pada akhirnya berlanjut ke kita dan begitu seterusnya. Seiring perjalanan, pertanyaan tersebut masih kita jumpai di masa remaja, lalu berlanjut di masa dewasa dan tua. Bahkan ketika tak ada lagi yang bertanya (di masa kapanpun), hal tersebut pernah menjadi bahan renungan kita semua.

Saat bertambah usia, cita-cita yang pernah kita pikirkan tentu akan mengalami perkembangan, begitu seterusnya. Ada cita-cita yang sudah kita raih, adapun cita-cita yang kita revisi karena kondisi masing-masing individu, dan ada pula yang masih dalam masa perjuangan meraih cita-cita. Hal itu sungguh normal dan wajar.

Cita cita dalam pengertiannya hal ini adalah sebuah tujuan, mimpi, atau ambisi yang seseorang akan wujudkan. Banyak interpretasi arti tentang cita-cita, namun intinya adalah "hal" yang diwujudkan. Pertanyaan yang sering dianggap sederhana tersebut mempunyai makna luas dan progresif. Karena dari pertanyaan tersebut, mengantarkan kita dari masa lalu ke waktu kini, serta merawat kita di masa kini untuk berharap pada masa depan, yang semuanya pada proses menggapai cita-cita.

Cita-cita yang kita deklarasikan dalam diri kita tersebut, membangun pikiran kita tentang masa depan. Tentang hal-hal yang ada di masa depan. Inilah salah satu motivasi terhebat manusia agar dirinya tetap terus hidup. Yaitu dengan bercita-cita.

Apa cita-citamu?

Tentu pertanyaan tersebut direspon dengan aneka jawaban oleh seseorang yang bercita-cita. Tetapi, sadarkah kita bahwa jawaban seseorang terhadap sebuah pertanyaan umum yang dialami oleh sebagian besar manusia dapat menjadi sebuah "kebudayaan"?

Apa saja jawaban manusia dimulai dari kebiasaan berpikirnya. Kebiasaan berpikir akan bertahan dan menjadi kebudayaan berpikir. Inilah kebudayaan kita. Seperti apa salah satunya? Berikut akan saya terangkan.

Apa cita-citamu? Seringkali, jawaban tersebut berbunyi: Dokter, Polisi, Pilot, Insinyur, Artis, dan sejenisnya. Subjek jawaban ini membangun jenis pertanyaan pada bentuk cita-cita "menjadi apa", dan kemudian berkembang melintasi zaman dan merubah pokok pertanyaan yang semula "apa cita-citamu" kemudian berubah ke "cita-citamu ingin jadi apa?" Eksistensi ini melekat dalam ketidaksadaran, kemudian lambat laun menjadi budaya.

Budaya bertanya "Cita-citamu ingin jadi apa?" menghasilkan jawaban yang juga membudaya, yaitu jawaban yang berkaitan dengan bentuk-bentuk "jadi/jadi apa/menjadi". Sehingga, aturan berpikir kita cenderung berproyeksi pada "Cita-cita adalah menjadi blablabla".

Memahami cita-cita sebagai sebuah jawaban, sedari kecil terdapat kebudayaan untuk menjawab pertanyaan "cita-cita" dengan arah jawaban pada "menjadi apa". Kita menjawab dengan sadar bahwa menjadi dokter, menjadi polisi, menjadi lain-lain yang sejenis dalam kerangka subjek "menjadi" adalah hal yang niscaya (tidak bisa tidak). Metode berpikir sentralistik tersebut menjadikan pertanyaan tentang cita-cita yang seharusnya lebih beragam, mennjadi redup dan telah terarahkan, bahwa cita-cita berkaitan dengan "menjadi apa".

Salahkah hal tersebut?

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa hal tersebut adalah wajar. "Sudah menjadi wajar" akibat "tidak/bahkan (dianggap) sia-sia" untuk mempertanyakannya. Pernahkah kita menyadari bahwa predikat "menjadi apa" akan didapat saat telah "melakukan apa". Proses menuju "menjadi" harus dilalui dengan "melakukan". Menjadi dokter harus pernah menyembuhkan seseorang, menjadi guru harus pernah mengajar, menjadi pilot harus pernah mengendarai pesawat.

"Profesi" diperoleh saat "berperan". Melakukan terlebih dahulu baru menjadi. Berbuat baik dahulu baru menjadi surgawan/surgawati (Apabila konteksnya spiritual). Bahkan hal tersebut berlaku pada sesuatu yang negatif, seperti: Mencuri terlebih dahulu baru menjadi maling. Melakukan apa terlebih dahulu kemudian menjadi apa. Memakan kerupuk terlebih dahulu kemudian penjadi pemakan kerupuk. Meniup balon terlebih dahulu kemudian menjadi peniup balon. Menyelamatkan dunia terlebih dahulu kemudian menjadi penyelamat dunia dan sebagainya.

Namun demikian, seseorang dapat melakukan banyak hal terlebih dahulu untuk menjadi sesuatu. Hal itu disebabkan karena aktivitas "melakukan apa" tidak berlaku tunggal. Seseorang dapat melakukan banyak hal terlebih dahulu untuk menjadi. Misalkan: Meniup balon, menangkap maling, dan menerbangkan pesawat untuk menjadi pilot.

Apakah cita-cita "menjadi apa" adalah sebuah tujuan manusia?

Adalah tentang pertanyaan: Apakah menyembuhkan penyakit harus menjadi dokter? Apakah mengajar harus menjadi guru ? Apakah menerbangkan pesawat harus menjadi pilot? Hal inilah kondisi yang sering kita lihat bahkan kita alami sendiri, bahwa seseorang dapat melakukan sesuatu tanpa harus menjadi sesuatu.

Di lain hal terdapat beberapa pengecualian atas peran yang sebagian dari kita dapatkan, di mana "melakukan sesuatu" harus memperoleh "legitimasi/pengesahan" dari subjek “profesi”. Seperti halnya "menerbangkan pesawat" harus mendapat pengesahan sebagai pilot. Walaupun menerbangkan pesawat harus didahului dengan menjadi pilot, namun sebelumnya haruslah melalui latihan terlebih dahulu dalam kerangka "melakukan sesuatu". Peran tersebut di dapatkan tatkala seseorang "melakukan sesuatu" terlebih dahulu. Dalam hal ini "menerbangkan pesawat" sebagai latihan sebelum mendapat predikat “menjadi pilot”.

 Sebaliknya terdapat kondisi di mana seseorang dapat menerbangkan pesawat meskipun ia bukanlah seorang pilot (walau memang illegal dalam praktik strukturalnya). Inilah kondisi-kondisi yang kita jumpai bahwa terdapat beberapa peran yang tidak didapatkan oleh semua orang. Juga terdapat beberapa aktivitas yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Hal tersebut memberi pengertian bahwa seseorang dapat melakukan sesuatu walaupun tidak menjadi sesuatu.

Mendudukkan kembali substansi “Menjadi apa”

Sudah menjadi apa / siapa saya hari ini ? Saat saya kecil, sering saya ditanya, “Cita-citamu ingin jadi apa ?”, maka dengan cepat saya jawab: “jadi dokter”. Andaikan saya sekarang adalah seorang dokter, sudah berhasilkan cita-cita saya ? Tentu saya akan bilang “Iya”.

Andaikan saya adalah bukan seorang dokter. Saya adalah bukan siapa-siapa, apakah saya adalah subjek yang telah “menjadi ?”. Maka, akan saya jawab “Iya”. Secara otomatis, apa yang kita lakukan merefleksikan siapa kita, bahkan saat kita diam saja, kita adalah “pelaku diam / pendiam”

Kembali pada persoalan “menjadi” dengan contoh dokter tadi. Apakah “menjadi dokter” adalah final dalam bercita-cita ? Apabila saya hadirkan antitesa “menyembuhkan penyakit” sebagai final dalam bercita-cita, manakah yang lebih final dalam tujuan bercita-cita ? Apakah “menjadi dokter” ataukah “menyembuhkan penyakit” ?

Mendudukkan bahasan ini agar tidak menjadi absolut, maka perlu ditempatkan pada konteksnya

Namun, kembali pada bahasan awal untuk “Memikirkan kembali cita-citamu ingin jadi apa”, maka arah kalimat tersebut sebenarnya telah terarahkan. Saat ditanya seperti itu, kita tidak dapat benar-benar bebas dalam memilih. Maka dari itu, hadirlah koreksi atas pertanyaan "Cita-citamu ingin jadi apa?" Bahwa pertanyaan "apa cita-citamu?" dapat dijawab juga dengan: Mengobati orang sakit, mengabdi pada negara, menjaga ketertiban negara, menemukan lapangan pekerjaan, membuat obat yang super khasiat, menemukan cairan untuk terbang ke Jupiter, dan sejenisnya.

Hanya sebuah pilihan

Memang, bentuk jawaban "menjadi apa" atau "melakukan apa" atas pertanyaan "apa cita-citamu?" adalah pilihan seseorang. Semua berhak memilih manapun yang diyakininya. Namun jika hal tersebut kita tempatkan pada bentuk relativitas pilihan, maka kita tidak dapat bertanya "cita-citamu ingin jadi apa?" karena pertanyaan tersebut telah memberi tendensi pada bentuk jawaban "menjadi apa". Sebaiknya kita bertanya, "apa cita-citamu?" Hal itu lebih membuka kesempatan dalam menjawab berbagai bentuk cita-cita.

Kemanakah bentuk tujuan yang akan kita akhiri dalam hidup?

Jika tujuan adalah "cita-cita", maka kemanakah tujuan yang ingin dicapai? Apakah yang didapat dari tujuan "menjadi apa?" Kedua jawaban cita-cita baik "menjadi apa" maupun "melakukan apa" adalah sama sama diawali dengan "PROSES" yang berbentuk "melakukan sesuatu".

Cita-cita "menjadi apa" diawali dengan "melakukan sesuatu". Cita-cita "melakukan apa" juga diawali dengan "melakukan sesuatu". Setelah kita melalui proses maka akan menjumpai hasil atau tujuan. Lalu, apakah sebenarnya tujuan kita ?

Pernahkah kita memikirkan ulang jawaban kita atas kebudayaan pertanyaan "cita-citamu ingin jadi apa?" 

Terdapat alternatif berpikir bahwa ternyata cita-cita kita selama ini adalah "menyembuhkan penyakit", "menemukan obat baru", "menangkap maling", "memberantas korupsi", "menghukum yang jahat" dan lain sejenisnya yang merupakan jawaban atas cita-cita sebagai bentuk "melakukan apa" untuk tujuan yang akan kita akhiri dalam hidup kita masing-masing.

Karena bercita-cita merupakan bagian dari renungan setiap manusia, semua selalu kembali dari masing-masing individunya. Mari sama sama saling berjuang untuk meraih cita-cita.

Bukan "cita-citamu ingin jadi apa", tetapi..

Apa cita-citamu ?

Cita-citaku adalah ...

-

Dinar Fitra Maghiszha | @dirghiz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun