Untuk orang awam, beberapa orang pasti tidak menyangka bahwa ada korelasi antara kesehatan mental (mental health) dengan angka berat badan. Lalu mereka hanya berpikir, “Itu mah dia nya aja yang doyan makan, sampe lupa sama berat badannya.” Padahal, ada beberapa alasan seseorang mendapatkan kenaikan berat badan, salah satunya karena mental health seseorang. Kualitas hidup sangat erat kaitannya dengan status gizi seseorang, makanan yang seseorang makan serta interaksi sosial mempengaruhi status gizi seseorang. Nah, faktor interaksi sosial ini sangat berpengaruh pada kesehatan mental seseorang.
Hampir semua orang akan berkomentar, “Kamu gendutan ya” jika melihat orang yang setelah sekian lama tidak bertemu. Ada juga komentar, “Kamu gendut ya ternyata” kepada orang yang pertama kali bertemu. Komentar-komentar body shamming tersebut bisa saja dianggap remeh oleh segelintir orang. Pada nyatanya, komentar body shamming tersebut sangat mempengaruhi keadaan mental seseorang. Kebanyakan orang yang mendapatkan koemntar tersebut hanya akan bereaksi seperti hanya tersenyum atau tertawa kecil. Padahal, body shamming tersebut sengat melekat dipikiran mereka.
Kebanyakan orang yang telah mendapatkan body shamming tersebut akan bereaksi mental seperti cemas, tidak percaya diri, khawatir, panik, tersinggung, sakit hati, dll. Hal-hal tersebut dikatakan tahap pregangguan mental. Tahap ini bisa menyebabkan kecemasan berlebihan, kehilangan rasa percaya diri dan merasa rendah diri. Tahap ini lah yang bisa dikatakan bahwa kesehatan mentalnya telah terganggu.
Selain karena faktor interaksi sosial seperti body shamming, ada juga karena stress dan depresi. Cukup banyak orang dengan gangguan mental menilai kualitas hidup mereka lebih rendah daripada mereka yang tidak memiliki gangguan mental. Terdapat juga bukti lain bahwa gangguan 3 mental yang berat dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup yang lebih banyak dibanding gangguan mental umum
seperti gangguan mood dan kecemasan, yang semuanya terkait dengan penurunan kualitas hidup yang besar.
Hasil penelitian menemukan bahwa orang yang depresi memiliki 58% peningkatan risiko menjadi obesitas. Efek stres pada setiap orang dapat berbeda-beda. Ada yang kehilangan nafsu sampai akhirnya melewatkan jam makan, ada juga yang malah menjadikan makanan sebagai pelarian dari tekanan dan rasa sedih. Perlu diketahui, berat badan yang naik akibat stres juga dipengaruhi oleh faktor hormonal. Tipe efek stress yang menjadikan makanan sebagai pelarian dari tekanan dan rasa sedih ini lah yang menjadi alasan seseorang mengalami kenaikan berat badan.
Teman saya adalah tipe orang yang jika ia stress, ia akan makan terus menerus. Pernah saat dia sedang stress akibat banyaknya tugas kuliah, ia selalu makan-makanan berat minimal 5x sehari sehingga berat badannya naik 5 kg dalam 2 bulan. Awalnya, dia tidak memperdulikan penampilannya, karena dipikirannya “Gapapa lah gendut, yang penting aku nya bisa ngelepas stress” namun, saat ada komentar body shamming, “Kamu kok gendut sih? Cewe gendut itu gak enak diliat” yang ia dapat dari teman kuliahnya.
Semenjak saat itu, dia selalu mengingat perkataan itu dan merasa rendah diri, kehilangan kepercayaan dirinya, dan mengalami kecemasan yang cukup berlebihan.
Dia mulai memikirkan cara menurunkan berat badannya, namun baginya hal tersebut sangat sulit karena tugas kuliahnya masih membuatnya stress. Ia pun bingung cara melampiaskan rasa stressnya, mau ke makanan lagi tapi ia sedang berdiet.
Setelah waktu yang lama, ia berhasil menurunkan berat badan dengan angka yang cukup drastis sehingga banyak pujian-pujian berdatangan padanya karena telah melangsingkan berat badan. Saya kira, dia sudah menjadi lebih baik karena mulai percaya diri. Namun, setelah saya perhatikan seksama, dia seperti mengalami gejala obesophobia. Ia pun mengatakan ia sangat takut jika berat badannya naik karena hal tersebut akan mendatangkan stigma negatif masyarakat terhadap kenaikan berat badannya.
Dia melakukan olahraga berlebihan untuk mengimbangi konsumsi makanan, terlalu sering menggunakan obat pencahar atau diuretic, menghitung kalori secara obsesif, terlalu sering menimbang berat badan, menghindari makan, menjadi kurus atau kurang gizi, dan tidak suka atau menghindari berada di sekitar mereka yang kelebihan berat badan.
Dari hal tersebut, pentingnya untuk menerima keadaan diri sendiri. Harus memikirkan kebahagiaan diri sendiri terlebih dahulu, seperti “Apakah dengan menurunkan berat badanku sekarang aku jauh lebih happy?” “Apakah ada yang salah dariku? Memang kenapa jika aku tidak langsing?”.