Mohon tunggu...
Dinar Meidiana
Dinar Meidiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa sekaligus reporter

Suka menulis dan pernah menulis buku Manusia Bersandiwara bersama Toto Rahardjo (Pendiri Sekolah Sanggar Anak Alam, Yogyakarta).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Marketing Politik dan Hiruk-Pikuk Dunia Maya

21 Juli 2023   22:45 Diperbarui: 21 Juli 2023   22:51 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiruk-pikuk di dunia maya dan media lazim terjadi menjelang kompetisi politik. Saat ini kesibukan jagat maya sudah tampak. Penggunaan media massa untuk kepentingan marketing politik tidak menyalahi aturan. Justru itu merupakan strategi yang tepat karena media massa memiliki perangkat yang mumpuni dan efektif untuk menyebarluaskan informasi dalam waktu yang singkat.

Prof. Firmanzah dalam buku Marketing Politik menyebut pentingnya posisi media massa dalam persaingan image antar partai politik. Media massa dapat dijadikan partner strategis untuk mengkomunikasikan program kerja dan segala bentuk aktivitas yang dilakukan. Pemberitaan yang dilakukan secara intensif akan meningkatkan public awareness sehingga partai politik akan lebih dikenal.

Sayangnya tren saat ini yang terjadi adalah konglomerasi media massa oleh pendiri partai politik. Mereka tidak hanya menjadikan media massa sebagai partner strategis, tapi menjadi bagian yang tak terpisahkan. 

Secara otomatis media massa yang dikuasai oleh pendiri partai akan memproduksi pemberitaan yang sangat intens tentang partai terkait. Ini jelas berbahaya karena mengancam netralitas media massa sebagai lembaga yang semestinya independen.

Misalnya hasil survei elektabilitas bakal calon presiden yang muncul dalam berbagai versi lembaga survei di media berbeda, menunjukkan hasil yang berbeda pula, bahkan tidak jarang bertolak belakang. Hasil survei kemudian jadi bahan bakar untuk menggoreng isu dan menggiring opini publik terhadap partai politik maupun bakal calon presiden yang diusung.

Semakin ketat persaingan media massa maka akan semakin tinggi pula intensitas pemberitaan yang akan dikonsumsi publik. Intensitas pemberitaan yang tinggi tidak juga selalu berdampak positif bagi partai politik. Akibatnya media massa akan terlihat kentara berat sebelah dan tidak netral.

Sosok A terkesan positif di pemberitaan dari media X tapi tidak di media Y. Sementara, sosok B terkesan positif di pemberitaan dari media Y tapi tidak di media X. Hal yang tampak di layar kaca, agaknya belum sepenuhnya mewakili hal yang ada di balik layar. Ini yang dikatakan Erving Goffman lewat dramaturgi dengan teater kehidupannya. Apa yang terlihat di depan layar tidak menunjukkan apa yang ada di balik layar.

Media massa menjadi depan panggung yang digunakan untuk melakoni peran formal partai politik maupun bakal calon presiden. Meningkatkan citra positif untuk membentuk reputasi agar digemari konstituen dan 'laku' di pasar. Strategi ini tak ubahnya aktivitas jual beli. Para calon akan membentuk dirinya sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen agar laku di pasar.

Selain mengancam netralitas media, intensitas pemberitaan akan mengakibatkan banjir informasi yang berdampak pada publik sebagai konsumen media. Semakin banyak informasi yang tersaji dengan berbagai pandangan bahkan tak jarang bertolak belakang satu sama lain, maka publik akan mengalami kebingungan. Akibat yang paling parah adalah munculnya sikap apatis.

Ini terjadi ketika partai politik memutuskan untuk menggunakan jasa buzzer politik dalam meningkatkan awareness bahkan untuk menjatuhkan lawan. Masih ingat kan dengan cebong dan kampret yang lahir saat pemilihan presiden 2014? Seketika warga net kebanjiran informasi sehingga kesulitan mencerna antara informasi fakta dan hoax. Strategi ini menjadi boomerang bukan hanya bagi partai politik tapi juga penyelenggara Pemilu karena akibat informasi yang berlebihan.

Kadang setiap buzzer politik saling membuka aib yang disebut Goffman sebagai belakang layar yang menciptakan opini publik bahwa semua calon sama saja. Memilih yang buruk di antara yang paling buruk. Swing voters yang awalnya diperkirakan akan beralih pilihan calon, malah beralih menjadi golput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun