Mohon tunggu...
Dina Qurotha Aini
Dina Qurotha Aini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

We are born to be real not perfect, so be yourself

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Dekonstruksi Jacques Derrida: Memahami Pluralitas Makna dalam Kasus Kontroversial Jessica Wongso

11 Desember 2023   19:01 Diperbarui: 11 Desember 2023   19:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teori dekonstruksi adalah konsep yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida, seorang filosof modern yang banyak mengkritik gagasan dan teori para filsuf barat misalnya yang sering kali mengunggulkan logosentrisme. Derrida menawarkan konsep yang sama sekali berebeda dan problematis, yang melibatkan:
1. Dekonstruksi: Proses menganalisis teks untuk menemukan makna yang tidak boleh terus, yang mungkin berbeda dari makna asli teks tersebut. Dekonstruksi melibatkan membaca teks dengan menggeser pusat atau inti ke pinggir dan mengubah teks yang dari pinggir ke inti.
2. Konteksualisme: Derrida menekankan pentingnya memahami konteks dalam yang teks di sini, bukan seperti teks yang ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa teks tidak selalu memiliki makna yang tetap acak dan stabil.
3. Kritik terhadap logosentrisme: Derrida menghargai logosentrisme dan mengkritik teori filsafat lainnya yang mengunggulkan logosentrisme. Dia menawarkan konsep yang sama sekali berebeda dan problematis yang melibatkan memahami makna teks yang tidak boleh terus.
Teori dekonstruksi memiliki beberapa prinsip utama, seperti:
1. Teks sebagai konstruksi: Derrida menyatakan bahwa teks bukan sebuah entitas yang tidak tergantung pada konteks, tetapi teks dihasilkan oleh konteks dan makna yang diberikan pada teks tersebut.
2. Ambivalensi: Derrida menawarkan konsep ambivalensi, di mana makna teks bukan seiredak, melainkan memiliki makna yang bertentangan dan konfliksi.
3. Diferansiasi: Derrida menekankan pentingnya memperhatikan diferansiasi dalam bacaan teks, yang melibatkan membaca teks dengan memahami konteks dan makna yang berbeda mungkin ada di dalam teks tersebut.
Kasus Jessica Wongso dapat dijadikan contoh fenomena dalam kehidupan yang menunjukkan bahwa tidak ada satu "kebenaran" tunggal. Dalam kasus ini, terdapat beragam pandangan dan interpretasi mengenai motif, pelaku, dan kronologi kejadian. Jessica Wongso dituduh membunuh temannya, Mirna Salihin, dengan meracuni minuman yang dikonsumsi oleh Mirna. Namun, Jessica membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa dia tidak bersalah. Selama persidangan, terdapat beragam bukti dan saksi yang dihadirkan oleh kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa tidak ada satu "kebenaran" tunggal dalam kasus ini. Meskipun akhirnya Jessica dijatuhi hukuman penjara, namun masih terdapat pandangan dan interpretasi yang berbeda-beda mengenai kasus ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran seringkali bersifat relatif dan dapat ditafsirkan secara beragam oleh individu atau kelompok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun