Teori dekonstruksi adalah konsep yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida, seorang filosof modern yang banyak mengkritik gagasan dan teori para filsuf barat misalnya yang sering kali mengunggulkan logosentrisme. Derrida menawarkan konsep yang sama sekali berebeda dan problematis, yang melibatkan:
1. Dekonstruksi: Proses menganalisis teks untuk menemukan makna yang tidak boleh terus, yang mungkin berbeda dari makna asli teks tersebut. Dekonstruksi melibatkan membaca teks dengan menggeser pusat atau inti ke pinggir dan mengubah teks yang dari pinggir ke inti.
2. Konteksualisme: Derrida menekankan pentingnya memahami konteks dalam yang teks di sini, bukan seperti teks yang ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa teks tidak selalu memiliki makna yang tetap acak dan stabil.
3. Kritik terhadap logosentrisme: Derrida menghargai logosentrisme dan mengkritik teori filsafat lainnya yang mengunggulkan logosentrisme. Dia menawarkan konsep yang sama sekali berebeda dan problematis yang melibatkan memahami makna teks yang tidak boleh terus.
Teori dekonstruksi memiliki beberapa prinsip utama, seperti:
1. Teks sebagai konstruksi: Derrida menyatakan bahwa teks bukan sebuah entitas yang tidak tergantung pada konteks, tetapi teks dihasilkan oleh konteks dan makna yang diberikan pada teks tersebut.
2. Ambivalensi: Derrida menawarkan konsep ambivalensi, di mana makna teks bukan seiredak, melainkan memiliki makna yang bertentangan dan konfliksi.
3. Diferansiasi: Derrida menekankan pentingnya memperhatikan diferansiasi dalam bacaan teks, yang melibatkan membaca teks dengan memahami konteks dan makna yang berbeda mungkin ada di dalam teks tersebut.
Kasus Jessica Wongso dapat dijadikan contoh fenomena dalam kehidupan yang menunjukkan bahwa tidak ada satu "kebenaran" tunggal. Dalam kasus ini, terdapat beragam pandangan dan interpretasi mengenai motif, pelaku, dan kronologi kejadian. Jessica Wongso dituduh membunuh temannya, Mirna Salihin, dengan meracuni minuman yang dikonsumsi oleh Mirna. Namun, Jessica membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa dia tidak bersalah. Selama persidangan, terdapat beragam bukti dan saksi yang dihadirkan oleh kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa tidak ada satu "kebenaran" tunggal dalam kasus ini. Meskipun akhirnya Jessica dijatuhi hukuman penjara, namun masih terdapat pandangan dan interpretasi yang berbeda-beda mengenai kasus ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran seringkali bersifat relatif dan dapat ditafsirkan secara beragam oleh individu atau kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H