Mohon tunggu...
Dina Purnama Sari
Dina Purnama Sari Mohon Tunggu... Dosen -

There is something about Dina... The lovely one...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Not Only Crush but Also

24 November 2018   17:35 Diperbarui: 24 November 2018   17:41 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore yang mendung di sebuah kedai kopi.

"So, bagaimana Mbak D?" tanya Liliana sembari mengaduk vanilla late-nya. 

"Bagaimana apanya?" tanyaku tanpa menoleh.

"Kakak Jelita Geulis!" seru pelayan kedai kopi.

Aku berdiri dan menghampiri pelayan tersebut. Hup, dengan wajah ceria cappucino dingin pindah ke genggaman tanganku.

Liliana nyengir. "Ya ampun, kukira siapa, Kakak Jelita Geulis, pemborosan diksi."

Aku duduk manis dan tersenyum penuh arti. "Ya, tidak apalah, sesekali menggunakan nama alias, Jelita Geulis."

"Iya, deh. Jadi, bagaimana, Mbak D?"

"Apanya?" tanyaku sembari mematikan laptop merah dengan stiker palsu bergambar apel yang digigit.

Liliana, adik kelasku di Sekolah Dasar, mendadak tertawa heboh. "Hadeuh, itu mengapa ada foto Mbak D di laptopnya? Lalu, ada stiker gambar apel sedikit nempel di ujungnya?"

Aku tertawa lepas. "Sengaja. Laptopku ini pasaran, banyak yang punya jadilah disiasati dengan menempelkan foto diri dan apel."

"Wait, ya." Dengan lincah, kumasukan laptop ke dalam ransel hitamku dan disusul dengan baterainya. 

Lagi, Liliana tertawa. Entahlah, perempuan berkulit cokelat eksotis itu murah tertawa. Tertawa lepas seolah tanpa beban.

Kuaduk cappucino dengan pelan. 

"Jadi," Liliyana mengerjapkan kedua matanya.

"Sudah shalat istikarah, belum?"

"Eh," tatap Liliyana.

"Sudah bertanya kedua orang tuamu, belum? Setuju atau tidak?"

"Mmm..."

"Shalat lima waktu tepat waktu ditambah amalan sunah, bertanya kepada kedua orangtua, zakat, membaca Al Quran, sedekah, puasa...."

"Oke, oke. Aku tahu, Mbak. Akan tetapi, menurut Mbak, mana yang lebih okay?" Liliana mengeluarkan beberapa foto lelaki rupawan.

"Pilihlah yang paling bagus dan baik akhlaknya, seiman."

"Mmm..."

"Kalau dia tampan, rupawan, oke secara fisik, anggap saja bonus."

"Mmm..."

"Mmm, apa?" kataku balik bertanya.

"Yang ini... Handsome pisan, tajir, keluarganya terpandang, well educated tapi beda visi. Mmm, beda iman tapi katanya bersedia pindah jika menikah denganku."

Aku diam sejenak. "Alhamdulillah jika demikian adanya, berganti iman tapi kalau bisa dia melakukan hal tersebut bukan supaya bisa menikahimu tapi karena dia memang demi Alloh." kataku mendadak bijak.

"Adalagi, dia muslim, pengusaha sukses di bidang start up, nice looking, insya Allah soleh, tapi pendidikannya di bawahku. Adalagi, ini pandai mengaji, seorang penghafal Quran, seiman, dan tar katanya mas kawinnya adalah salah satu Surah dalam Al-Quran. Adalagi..."

Aku tersenyum. "Wew, alhamdulillah, banyak banget pilihannya. Ya sudah, istikarah dan lakukan amalan wajib dan sunah. Jangan lupa, diskusikan dengan kedua orangtuamu."

"Lah, Mbak, kedua orang tuaku sudah meninggal. Makanya, aku berkonsultasi dengan Mbak D."

Aku menepuk jidatku. "Duh, maaf, lupa. Innalillahi. Semoga keduanya husnul khotimah. Saudara lain, bagaimana? Kakak? Adik? Tante? Om? Sepupu? Dan sebagainya?"

Liliana termenung. "Ada, Mbak D tapi mereka memasrahkan semua keputusan kepadaku karena katanya aku yang akan menjalani semuanya tapi saran mereka sama seperti Mbak D, kalau bisa seiman. Selain itu soleh dan memiliki penghasilan tak hanya memiliki pekerjaan."

"Ah, ya, itu betul. Soleh. Paket soleh, tak hanya mengerti tapi juga melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ulet juga perlu."

"Jadi, bukan hanya naksir dan kasmaran tapi juga seiman, soleh... Mmm, aku perlu berdoa apa, Mbak?"

Kuminum Cappucino hingga tandas. 

"Berdoalah yang baik-baik. Untuk isinya, terserah dirimu. Berdoalah apa yang kau mau."

"Mmm, Mbak, satu lagi, dulu Mbak berdoa berjodoh 'gak dengan Mas Al?"

Aku menatap Liliana bete. "Pertanyaan macam apa itu? Apa hakmu menanyakan hal itu kepadaku?"

Liliana menutup pertemuan sore kami dengan tawanya yang khas, lebar dan lepas seolah tanpa beban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun