"Milea: Suara dari Dilan" merupakan novel ketiga yang saya baca setelah "Dilan: dia adalah Dilanku Tahun 1990" dan "Dilan : dia adalah Dilanku Tahun 1990". Masih mengusung tema yang sama, salah satunya percintaan remaja, novel tersebut tetap berisikan ilmu dan moral yang semakin pekat namun disampaikan dengan renyah, khas bahasa remaja. Kedekatan faktor tahun dan Bandung-lah yang membuat saya tetap tertarik mengikuti kisah Dilan dan Milea. Kelak, semoga saja, ada versi curhatan Cika dan Mas Herdi seimbang kisah yang ditampilkan berimbang dan berbeda dari novel-novel remaja yang pernah saya baca.
Setelah membaca tuntas, saya mengaminkan beberapa hal yang diungkap Dilan dalam novel karangan Pidi Baiq itu. Khususnya. berkaitan dengan pesan moral dan ilmu pengetahuan di dalamnya sehingga secara tak langsung sebagai pembacanya, saya 'tak perlu susah payah' mencari ilmu berkaitan hal tersebut. Secara positif, novel Dilan seri ketiga ini, bagus menumbuhkan minat baca. Secara negatif, pembacanya bisa langsung menelan keilmuan baik dunia maupun akhirat tanpa perlu kroscek lagi dengan referensi yang relevan.
Baiklah, secara umum, ada beberapa pesan yang menarik untuk saya ulas di sini sebagai acungan jempol untuk Ayah Surayah, Pidi Baiq, yang pernah saya temui saat meet and greet plus tanda tangan di Pameran Buku, Parkir Timur Senayan, kira-kira setahun yang lalu saat seri Dilan yang pertama hadir dan booming.Â
Pada saat itu, saya sempat menyampaikan kepada sang penulis bahwa banyak kesalahan ejaan pada novelnya yang pertama kemudian entah bagaimana saya menemukan revisi novel seri pertamanya, "Dilan: dia adalah Dilanku Tahun 1990".Â
Sungguh, amazing! Kayaknya, mungkin saya kudet (kurang update), tapi baru kali ini saya menemukan novel edisi revisi. Biasanya, edisi revisi itu diterbitkan oleh naskah buku nonfiksi. Kerenlah, edisi revisinya! Setidaknya, walaupun tidak membelinya (karena saya merasa belum perlu memilikinya, cukup dengan edisi yang nonrevisi), saya sempat membolak-balik beberapa halaman di dalamnya di sebuah toko buku yang memang biasanya dibuka satu buku untuk dibaca atau sebatas dilihat-dilihat saja isinya.Â
Keren karena setelah saya telusuri dengan jari dan mata beberapa jejeran kalimat di dalamnya menghasilan urutan kata dan susunan kalimat yang jauh lebih baik dari sebelumnya, seperti ejaannya dengan ciri khas tulisan fiksi yang kadang mengindahkan minimal Subjek dan Predikat untuk pembentukan sebuah kalimat.
Sarat ilmu dan moralnya terdapat di beberapa halaman, berikut di antaranya yang menurut saya menarik untuk dikutip:
1. Halaman 165: "Lia tidak menjawab, dia hanya, Tapi, kalau gak salah, omong-omong soal helm, hal itu baru diatur di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya dan dijabarkan secara teknis dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 1993."
2. Â Halaman 190-193: "Aku ambil sebuah buku, tapi sudah lupa apa judulnya, hanya iseng untuk menghabiskan sisa waktu. Di buku itu, aku membaca tentang Daendels, Gubernur Jenderal zaman kolonial Hindia Belanda, yang dulu pernah bicara sambil menancapkan tongkat kayu di daerah sekitar Jembatan Cikapundung. Dan, katanya: "Zorg dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd." Artinya: "Coba usahakan bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota...."
3. Halaman 246: "Dia tidak lucu, tapi tanya dia tentang rahasia Segitiga Bermuda, dia akan menjelaskan dengan detail sampai kamu ingin tidur. Tanya ke dia tentang kisah Prabu Siliwangi yang hilang, dia akan menjelaskannya sampai jauh, sampai menyambung ke kisah Kian Santang yang pergi ke Arab dan masuk Islam karena bertemu Saidina Ali di padang pasir. Tanya ke dia apa saja, termasuk kisah-kisah selebritas, kalau dia tidak bisa menjawab dia akan bilang: "Itu rahasia Allah."
4. Halaman 248: "Katanya, bukan nama kampusnya yang harus dijunjung tetapi ilmu pengetahuannya yang harus disebarkan. Ini menjadi bukan tentang apa yang kaumiliki, tetapi tentang apa yang kau lakukan, di mana pun kau berada!"