Suatu senja di pinggir kota yang hiruk-pikuk. Entah, apa yang dilakukan oleh orang-orang di luar sana. Tepatnya, di luar toko buku yang lengkap dengan kafe.
Kunikmati aroma kopi hitam dengan sumringah.Â
"D, kadang aku berharap bahwa takkan ada hari esok." ucap Al dalam penuh arti.
Aku melirik Al sekilas. "Jangan, dong. Kalau besok tidak ada artinya kiamat. Kalau besok tidak ada, bagaimana aku bisa menepati janjiku kepada kedua orangtua untuk menuntaskan studiku di strata tiga?!"
"Iya, biar saja begitu. Lebih baik begitu. Dengan begitu, kau takkan memilihnya. Dengan begitu, aku akan tetap memilikimu utuh."
Pipiku memerah. Bukan karena tersanjung dengan gombalan Al, tapi memerah sebagai iritasi bedak yang kupoles beberapa menit lalu. Aku mengaca sekian kalinya.Â
"Pipimu cantik D. Tak usah kau berkaca lagi." ucap Al hangat.
Aku tersenyum. "Al, jika memang besok tak ada, apakah kau yakin aku takkan memilihnya?" tanyaku dengan nada ironi.
"Ya, pasti."
Aku menggelengkan kepala. Pegal. Usai itu, aku olahraga kecil. Menoleh kanan-kiri. Angkat kepala atas-bawah.Â
Al menatapku aneh. "Aneh. Kamu kenapa, D? Sejak menikah dengan Lilo, perangaimu jadi aneh tapi wajahmu terlihat segar. Mungkin, itu cinta palsu yang kau tunjukkan kepadaku sebagai bukti bahwa kau bahagia. Buka dulu topengmu, D."